210, Kenangan

112 26 3
                                    

Ditinggalkan seperti itu oleh Aurora, Angkasa masih tercenung di ambang pintu. Dia tahu, anaknya belum tidur. Dia tahu, istrinya membawa pakaian kotor ke belakang hanya alasan untuk menjauh darinya.

Dia hanya manusia terbuang, tak berguna, yang hanya akan menambah beban hidup orang-orang di sekitarnya.

Tapi di satu titik tersudut hati, batinnya berbisik, bahwa dia bisa memperbaiki semuanya. Cukup dengan mendekatkan diri dengan anak dan istrinya saja.

Mendekatlah.

Jangan melarikan diri.

Bisik itu lemah tapi berulang. Namun bisik itu terlalu lemah untuk mengalahkan riuh isi kepalanya yang selalu gaduh dengan kerumitan hati. Bisik lemah itu akhirnya harus kalah dan mengalah pada teriakan-teriakan yang seminggu ini mengganggunya.

Membalik badan, Angkasa melangkah pergi tanpa pernah menoleh ke arah anaknya yang terus menyembunyikan kepala di balik bantal, atau kepada istrinya yang berdiri tergugu di depan jendela dapur memandangi tubuh Angkasa yang menghilang di balik mobil lalu mobil itu pun menghilang di balik pagar.

Entah ke mana.

***

Angkasa mengemudi tanpa arah. Kali ini dia hanya ingin pergi. Menjauh. Melarikan diri. Bukan menyembunyikan diri. Alih-alih ke flat Fabian, dia malah mengambil arah menjauh dari tempat itu. Tapi ke mana kaki melangkah dan roda berputar? Semua butuh tujuan. Tanpa arah, perjalanan hanya kehampaan semata. Seperti layangan putus yang terbang tanpa pegangan. Terus terbang menunggu saatnya jatuh juga.

Seperti itulah Angkasa sekarang. Tangannya hanya bergerak memutar kemudi mengikuti alur jalan. Kakinya bergerak menekan dan melepas pedal gas dan rem hanya karena mengikuti marka jalan. Tapi ke mana pun itu, perjalanan akan berakhir meski mungkin itu bukan tujuan.

Seperti itulah Angkasa sekarang.

Tangan dan kaki yang bergerak dengan kendali otak di bawah sadar ternyata mengantarkannya ke sebuah rumah sederhana di batas kota. Sejenak dia tersentak ketika tersadar di mana dia berada. Tapi sudahnya, dia tak peduli apa pun lagi. Melihat rumah itu, Angkasa menarik tuas rem tangan lalu langsung menuju pintu, mengetuk di sana.

.

Tok tok tok

.

Laras terkejut ketika mengintip dari celah tirai jendela. Bergegas, dia membuka pintu dan tanpa dipersilakan masuk Angkasa langsung menerobos masuk dan membanting tubuh di sofa lalu tenggelam di sana. Tubuhnya begitu merosot sampai setengah rebah.

Melihat itu, Laras langsung siaga satu. Dia memang terkejut dan bersiaga, tapi satu sisi dia merasa lega. Angkasa masih mau kembali ke sini setelah pengusiran anaknya. Namun, mengingat kacaunya Angkasa saat itu, sisi yang lain mencuat, sisi khawatir. Ada apa lagi dengan Angkasa? Melihat kekacauannya, mungkin dia sudah memaafkan anaknya tapi dia datang dengan masalah lain.

Laras bergerak cepat menyiapkan minuman.

"Minum dulu, Ga," ujarnya sambil duduk di sisi menyiku dari Angkasa.

Angkasa menggeleng.

"Ada apa, Ga?"

"Kamu sudah lihat pernyataan Ian?"

"Sudah. Jagya yang kasih link-nya. Aku nggak aktif di sosmed."

Diam.

Entah untuk apa dia tanyakan itu.

"Kamu belum bilang ke yang lain soal siapa yang sebarin?" tanya Laras lagi.

Angkasa menggeleng.

"Nasib Gya gimana, Ga?" Laras tidak bisa menyembuyikan tone cemas di suaranya. "Dia tuh langsung jadi tersangka ya?"

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang