224, Only Fools Fall In Love

91 23 6
                                    

Bunyi telepon mengganggu elegi Angkasa dan Aurora. Keduanya menjauhkan tubuh lalu seperti orang bodoh sama-sama mencari sumber bunyi.

Ponsel Angkasa bersembunyi di balik bantal. Masih dengan pikiran terbelah-belah, dia menerima panggilan itu ketika melihat Aurora menghapus airmata.

"Ya, Ma."

"A." Suara tangis Mama membuat Angkasa semakin mati akal.

"Ma? Ada apa?"

"Ian..."

"Ian kenapa?"

"Ian sakit."

"Sekarang di mana?"

"Rumah sakit."

"Rey?"

"Ari yang antar Rey."

Jika kepalanya bisa meledak, maka inilah saatnya.

"Kamu ke sana ya, A. Mama nggak kuat ke sana."

"Papa?"

"Sama Mami dan Papi di sana. Tapi kamu temani Ari ya. Kalau bisa gantiin Ari. Dia juga harus temani Dinda."

Tanpa anggukan Angkasa mengiyakan permintaan Mama.

"Aku harus pergi, La."

"Apa Aa sudah kuat? Badan Aa masih panas."

Angkasa mengedikkan bahu. "Paling nggak aku setor muka." Dia berusaha tetap sadar dan bisa berpikir.

"Olla ikut ya, A."

"Nad sama siapa?"

"Pakde aja."

Angkasa menarik napas panjang. Sungguh, dia tidak masalah dengan itu, tapi...

Aurora tahu isi pikiran Angkasa. Selain Angkasa, cuma dia yang bisa menenangkan Nad. Nad yang tenang berarti Angkasa bisa lebih tenang.

Tapi....

Aurora melihat Angkasa memijat kening. Wajah itu makin pias.

"Olla minta Pakde antar Nad ke Ibu aja ya, A."

Angkasa mengangguk. Aurora mengurus sisanya.

Hari baru saja dimulai tapi dimulai dengan kacau dan tegang. Aurora lagi-lagi harus merayu Nad. Ah, seandainya saja bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi tentu semuanya akan lebih mudah.

Mereka sampai di rumah sakit dan semua sudah berkumpul di sana. Seakan ini bukan bagian terburuk, kolom komentar di semua berita tentang mereka penuh kalimat-kalimat menyakitkan. Untuk sekarang, dan seharusnya selamanya, mereka mengabaikan itu.

Mama memang menyuruh Angkasa ke rumah sakit untuk mengurus semua menggantikan Ari. Tapi yang terjadi dia tidak melakukan apa-apa. Dia hanya duduk di sudut kehilangan daya. Tapi dengan wajah sepucat itu, semua tahu, Angkasa sakit. Non memberinya obat dan vitamin. Aurora memastikan Angkasa akan menghabiskan semua.

"Bagaimana caranya bawa Fabian pulang?" Suara Mami tak jelas di sela isak.

"Saya akan mengajukan pra peradilan, Bu." Setiabudi angkat bicara. "Saya juga sedang mengumpulkan bukti."

Hanya itu yang tertangkap telinga Angkasa. Sisanya berupa dengung yang mendenging di telinga.

"A, lu pulang aja deh." Tristan menempelkan punggung telapak di dahi Angkasa. "Ini panasnya turun cuma karena obat."

"Nggak apa-apa. Sudah enakan kok."

"Pulang aja, A. Ada gue sama Ari di sini."

Angkasa diam. Tentu tidak mungkin mengusir Tristan ke kantor dalam kondisi seperti ini kan?

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang