Sore itu, Angkasa mengendara sendirian. Sejak kematian Broto mereka tidak memerlukan pengawalan lagi. Dia mengemudi tenang, santai, menikmati petang yang mulai berhias kemacetan jalan raya. Tujuannya sudah di depan mata. Tak lama dia membelok masuk ke sebuah taman pemakaman umum.
Dia mengambil buket bunga mawar putih sepemelukan sebelum turun dari mobil. Sambil berjalan, dia menghidu wangi bunga itu. Cantiknya bunga dan harum baunya sepadan. Dia terus berjalan sampai tiba di sebuah makam. Dia berlutut dengan sebelah kaki lalu meletakkan buket bunga yang besarnya langsung menutupi nisan. Tapi dia tidak perlu membaca nisan itu.
Setelah menunduk sesaat untuk mengirim seuntai doa, dia mengangkat wajah dan memegang—mengelus—nisan.
"Na..."
Maaf aku baru ke sini. Dua bulan crowded banget. Tapi sekarang anggap aja semua sudah selesai. Penjahatnya minggu lalu mati digigit nyamuk.
Dia mendengus dan terkekeh meski tetap dalam hati.
Ternyata segampang itu ngambil nyawa orang ya. Nyamuk doang, Na. Nyamuk. Bukan macan bukan kobra. Nyamuk. Ya elah. Nggak pakai peluru apalagi bom atau racun apalah.
Aku salah nggak sih, Na, kalau senang dia mati? Dia bikin kami semua berantakan banget. Dia mati, berasa masalah selesai semua. Makanya aku langsung ke sini. Eh, nggak langsung sih. Maaf ya. Tapi begitu bisa ke sini masih ada matahari aku langsung ke sini. Serem juga kalau ke sini malam ya, Na.
Na, kamu kan dulu ngambek sama Ian karena dia ambil teman sekamar kamu. Karena kamu nggak mau tidur sendiri. Sekarang kamu gimana? Selama kita nikah aku nggak pernah tinggalin kamu kan, Na. Tapi ya elah, aku jagain kamu nggak sampai setahun. Sebentar banget, Na. Aku nggak puas.
Wajahnya meredup.
Na, aku pilih Aurora. Pas aku pikir-pikir, kalau aku pilih Laras kok ya kayak selama kita nikah aku ngeduain kamu banget. Kayak aku nggak jujur karena nggak pernah cerita tentang Laras ke kamu. Lalu pas kamu nggak ada aku balik ke Laras.
Maaf aku nggak pernah cerita tentang Laras sama sekali. Kalau aku cerita, kamu bakal makin nggak percaya aku. Aku nggak mau kamu mikir aku bakal balik ke Laras. Sekarang aku pilih Aurora, aku buktikan kalau aku nggak akan balik ke Laras. Aku nggak pernah mengkhianati kamu, Na. Aku sudah menerima jalan hidup aku. Termasuk kamu yang tinggalin aku cepat banget. Termasuk aku nggak bisa sama Laras. Termasuk Jagya yang benci aku. Aku terima semua.
Sehelai daun kamboja jatuh mengenai pelipisnya, lalu jatuh kembali ke tanah. Angkasa mengambil daun itu, lalu menyingkirkan ke tepi, daun itu tidak mengganggu, hanya terlihat mengotori makam yang terawat itu.
Daun itu tidak akan marah ketika dia disingkirkan dan dianggap sampah. Daun itu tidak membenci angin yang membuatnya jatuh. Seperti itulah yang Angkasa rasa.
Aku bersyukur banget Aurora mau terima aku apa adanya. Tapi aku kasihan kalau cuma apa adanya. Aku akan berusaha jatuh cinta ke dia. Kamu jangan marah ya. Aku tetap sayang kamu. Tetap cinta kamu.
Dia melanjutkan dialognya—lebih tepatnya monolog—sampai hari menjadi lebih petang lagi. Melihat matahari makin ke barat, dia merasa sudah waktunya pulang. Dia pun berpamit lalu beranjak pergi.
Sambil berjalan menuju mobil, pikirannya melayang mengingat semua kejadian yang menerjang mereka. Iya, mereka, tidak hanya dia. Mereka satu keluarga, satu tubuh. Hanya rasa tak percaya diri yang membuat dia menjauh dari yang lain.
Dia sudah memasuki area parkir, saat itulah dia melihat sebuah motor melewati gerbang pemakaman. Angkasa mengenali pengemudi motor itu, dia pun. Itu yang membuat si pengemudi menghentikan motor lalu berbalik arah. Melihat itu, Angkasa berlari mengejar.
"Jagya!"
Dia melompati separator jalan sampai berhasil menghalangi laju motor meski harus berdiri di badan jalan. Jagya tetap di motor. Bahkan dia tidak mematikan mesin.
"Kenapa kamu ngaku kamu yang sebarin foto? Maksud kamu apa?"
Pemuda itu mendengus mengejek.
"Gya, siapa sebenarnya yang kamu incar? Fabian atau aku?"
"Pergi aja sih dari hidup gue! Pergi!"
Tersentak, tapi dia berusaha menyembunyikan itu. "Oh, kamu cuma mau itu? Fine." Tapi sentakan itu mengganggunya.
Ternyata, dibuang anak sendiri itu menyakitkan. Ternyata dibenci itu menyedihkan, tak nyaman.
"Jangan ganggu nyokap gue lagi!"
Angkasa menarik napas. "Kalau ke rumah kalian itu berarti menganggu, aku janji nggak akan ke rumah kalian lagi. Aku ke sana mau ketemu kamu, mau tanya urusan foto. Sekarang sudah selesai." Semua sudah selesai. Termasuk kisah cintanya. Benar-benar sudah selesai. Sudah ada kata putus dari keduanya.
Dia menarik napas panjang. Ternyata ada yang belum selesai. Masih ada yang tertinggal yang harus dia selesaikan. Entah mereka benar-benar akan memutuskan ikatan yang sejak awal memang sudah diputuskan Langit atau tetap menjaga rasa hormat sebagai sesama manusia.
Senja semakin mendekati malam. Bumi meredup. Gelap semakin menjelang. Alam yang suram menjadi pengiring kesedihan Angkasa.
"Gya, aku nggak bisa jaga ibu kamu. Cuma kamu yang bisa jaga Laras. Cuma kamu lelaki yang dia punya. Aku harap kamu tau tanggung jawab kamu sebagai anak lelaki ibunya. Aku nggak bisa titip Laras ke kamu karena aku bukan siapa-siapa kalian. Aku cuma bisa ngakuin kamu anak aku tapi nggak bisa kasih nama aku buat kamu. Bukan nggak bisa, tapi nggak boleh. Dari awal memang hubungan kita sudah diputus. Kamu benar, aku cuma penyumbang benih. Aku nggak berhak atas kamu."
Jagya terdiam.
"Sekarang kamu sendiri yang putuskan untuk lepas total dari aku. Fine. Kita nggak ada hubungan. Kita bukan siapa-siapa. Aku nggak akan ganggu hidup kamu. Tapi kamu jangan ganggu hidup aku juga, termasuk ganggu orang-orang terdekat aku. Jangan ganggu Fabian, jangan ganggu Aurora. Tapi sebagai sesama manusia, kalau kamu ada perlu, kamu tetap bisa datang ke aku. Aku akan bantu sebisanya."
Mendengar itu, tanpa aba-aba Jagya langsung membanting kemudi ke kanan, ternyata—
"JAGYA!"
Angkasa menarik Jagya ke arahnya ketika sebuah mobil melaju dan nyaris menyambar motor yang tiba-tiba mengarah ke jalan. Tarikan keras itu membuat Angkasa jatuh, tertimpa Jagya dan motor. Dia masih berusaha melindungi Jagya dari tersungkur langsung ke trotoar dengan melepaskan tangan dari menahan motor. Akibatnya motor itu langsung menimpa tubuhnya tanpa penahan apa pun.
.
Dug
Brak
Krak
.
"AAARRRGGGHHH...!!!"
Jagya yang menimpa tubuh Angkasa melihat tanpa jarak darah yang mengalir dari kepala Angkasa. Orang-orang sudah berkerumun menolong mereka. Mengangkat motor lalu membantu Jagya berdiri. Ketika berdiri itulah dia melihat Angkasa lebih jelas. Dia mendelik ketakutan. Bayangan hitam mendadak mengisi kepalanya. Memorinya tercerabut keluar. Mencabiknya sampai terkoyak.
"BAPAAAKKK...."
***
Bersambung
Empat bab lagi Aa tamat ya....
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Sudut-Sudut Hati 2
RomancePengin ketawa deh akutu. 😀 Ternyata di Wattpad maksimal 200 bab padahal Aa lebih dari itu. Ya sudah, mau nggak mau bikin buku baru. Tau gini dari awal bagian ketiga di sini aja. Heleh. So, buat yang baru main di sini, baca buku sebelumnya dulu ya...