237, Berpikir Ulang

78 20 7
                                    

Menggeliat, lelaki itu merasa tubuhnya lebih bertenaga. Melirik jam, hari cukup siang. Sudah terlambat untuk bekerja. Tapi tidak untuk rencananya. Dia bisa melakukan kapan saja. Bisa sekarang, bisa nanti, bisa besok. Tak merasa perlu bergegas, dia malah melamun menatap dinding kusam. Memikirkan ulang rencananya. Sampai satu titik dia merasa harus kembali ke titik nol. Dia harus memastikan semua aman.

Bergerak santai, dia mandi dan berganti pakaian. Lalu kembali meluncur di jalan bersama motor butut. Sebentar lagi dia akan berpisah dengan motor itu. Sama seperti tempat tinggal, kendaraannya pun cepat berganti.

Sampai di tujuan dia berlaku senormal mungkin.

"Siang amat baru nongol lu," ujar personal asisten cantik bertubuh seksi.

"Gue tinggalin TKP aja sudah mau subuh, Mbakyu. Kalau gue ke sini normal, kapan gue tidurnya?"

"Enak banget ya jadi lu. Kerja suka-suka aja."

"Sesuai titah bos, yang penting semua beres. Ya sudah."

"Ugh..."

"Bos ada?"

"Ada. Lagi kosong kok. Masuk deh."

Lelaki itu mengetuk pintu terdekat di mejanya, setelah mendapat izin dari dalam dia pun masuk.

"Gimana semalam? Beres?"

"Beres, Bos." Dia mengangkat dua ibu jari. "Memang nggak berasa?"

Lelaki yang dipanggil boss itu terbahak lebar. "Kebutuhan gue cuma internet lancar dan data gue aman."

"86." Dia menarik napas lega. "Kalau gitu saya keluar ya, Bos. Stand by di posko."

Tidak menunggu jawaban, dia berbalik pergi sambil menarik napas lebih lega lagi.

Everything is under control.

***

Sepanjang menuju mobil, Aurora berusaha menahan semua rasa yang tidak menyenangkan akibat bertemu Jagya.

"Bu," panggil supirnya. Membuat Aurora mendongak. "Ibu sakit?"

Aurora menggeleng.

"Tapi muka Ibu pucat banget."

"Kecapean aja, Pak."

Sang supir pun mafhum.

"Saya bilang ke rumah ya, biar Nad nggak ganggu Ibu dulu. Biar Ibu bisa istirahat."

"Hah?" Aurora tidak bisa berpikir.

"Saya suruh Bude umpetin Nad kalau Ibu masuk rumah. Ibu langsung ke kamar aja. Nanti Nad ditahan biar nggak ke kamar. Biarin aja dia taunya Ibu belum pulang. Ibu nggak usah keluar kamar, nanti makan diantar ke kamar aja. Kalau ada perlu, Ibu telepon aja minta dianterin."

"Oh." Sepertinya dia memang butuh privasi itu. "Oke."

Supir itu langsung membuat panggilan ke rumah. Rencananya berjalan sangat lancar. Aurora bisa menyelinap masuk kamar tanpa diketahui Nad.

Seperti pencuri, dia menarik napas lega sambil bersandar di panel pintu.

"Maafin Ibu ya, Nad. Tapi Ibu capek banget hari ini." Lirih. Hanya untuk menegaskan kelelahannya.

Hari sudah petang tapi dia tidak merasa perlu terburu-buru di kamar mandi. Dia menikmati mandinya. Ini kamar Angkasa. Mengingat itu, hatinya kembali sakit dan dia menangis. Dia membiarkan airmatanya luruh bersama air. Tak dia tahan, malah dia biarkan dirinya menangis, terisak, tersedu, sampai puas.

Kenapa harus sesakit ini?

Dia kembali menangis. Bersama air yang jatuh, hatinya yang jatuh akan dia jaga agar tak hancur. Dia memuaskan dirinya menangis. Esok hari, saat kenyataan mungkin akan lebih menyakitkan, airmatanya sudah habis sehingga dia bisa terlihat tegar menerima keputusan.

Di Sudut-Sudut Hati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang