Dan meledaklah.
Fabian berlari menerjang tubuh Rey. Menangis bersama. Menangisi kisah hidup mereka yang tak lekang dirundung malang. Alam seakan ikut berduka, mengirimkan semilir angin pagi yang dingin sisa hujan semalam. Matahari yang selalu terik kali ini tidak mampu menembus pekatnya awan kelabu.
"Maafin aku, Rey ... maafin aku..."
"Maafin Rey, Ian ... maafin Rey..."
Mereka hanya saling meminta maaf. Rey merasa sangat bersalah tidak bisa menjaga kandungan, Fabian merasa bersalah tidak bisa menjaga Rey. Lingkaran setan ini melilit semakin kuat.
Fabian ingin menghibur Rey, tapi dia sendiri sangat membutuhkan penghiburan. Kemarin dia merasa berada di puncak kesedihan, tapi ternyata, kehilangan anak yang baru sehari dia ketahui keberadaannya masih lebih ke puncak lagi. Sampai kapan semua berakhir? Dia sudah terlalu lelah. Batas kesabarannya semakin dekat. Kehilangan anak adalah titik kritisnya.
Dan ini semua salahnya. Salah hatinya yang mengeluhkan takdir.
"Rey ... aku minta maaf. Ini salah aku." Dia mengangkat wajah dari lekuk leher istrinya.
"Nggak-"
"Salah aku, Sayang...." Wajahnya basah airmata. "Aku kemarin ngeluh, kenapa kamu hamil sekarang saat aku lagi di sini? Seharusnya aku nggak ngeluh. Aku bukannya nggak suka kamu hamil, aku cuma ngeluh karena aku nggak bisa ngurus kamu, Rey." Dia kembali ingin meraung, tapi urung. Dia harus terlihat sedikit kuat untuk Rey kan?
"Allah sensitif amat sih. Aku cuma ngomong gitu aja anak aku langsung Dia ambil lagi."
"Ian, nggak boleh ngomong gitu."
"Aku capek, Rey. Capek banget. Selama ini aku berusaha sabar, tapi kenapa masalah makin berat? Sampai aku kehilangan anak kayak gini. Aku capek, Rey."
"Ian...."
"Aku dipenjara, aku masih bisa sabar. Kamu hamil tapi aku nggak bisa temani, aku masih bisa sabar. Tapi kamu keguguran, aku..."
"Ian..."
"Maaf, Rey," tersadar, "Aku seharusnya nggak ngeluh ke kamu. Aku seharusnya tenangin kamu."
Tapi dia hanya manusia biasa.
"Keluarin aja semua, Ian. Biar enakan." Dia tidak menghapus air mata lelakinya, dia hanya membelai rambut Fabian dengan tekanan keras.
"Aku sudah nggak punya tenaga. Dari kemarin aku nahan diri biar nggak meledak, begitu aja sudah bikin aku capek banget."
"Ian di dalam bagaimana? Tempatnya jelek banget ya? Ian di dalam disuruh apa?"
"Kamu jangan bayangin itu. Nanti bikin kamu makin drop. Urusan itu nggak aku anggap ada. Kecil banget. Aku orang yang biasa hidup susah."
"Tapi kan nggak dikurung...." Rey kembali terisak.
"Aku nggak masalah dikurung, tapi yang jadi masalah ya kayak gini, aku nggak bisa ngurusin kamu sampai kita kehilangan anak."
Tidak ada yang bermaksud menghentikan tangis mereka pun menyuruh yang lain berhenti menangis. Biarlah. Biarlah airmata-airmata itu keluar. Mereka terlalu berduka. Jika darah dan nyawa yang keluar bisa menggambarkan kehilangan mereka, mungkin itu yang akan mereka keluarkan dari tubuh-tubuh mereka.
***
"Angkasa..." Ari mendesis. Membuat Angkasa dan Tristan terkesiap. "Kamu ke mana saja beberapa hari ini?"
Angkasa tidak bisa menjawab. Oh, tidak mau.
"Kamu tidak mau jawab?" Mereka sudah berdiri berhadap-hadapan. Tristan siaga satu. Tapi dia merasa, satu atau dua gigi Angkasa lepas sepadan dengan ulahnya. Jelas dia di pihak Ari.
![](https://img.wattpad.com/cover/353816095-288-k793565.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Sudut-Sudut Hati 2
RomancePengin ketawa deh akutu. 😀 Ternyata di Wattpad maksimal 200 bab padahal Aa lebih dari itu. Ya sudah, mau nggak mau bikin buku baru. Tau gini dari awal bagian ketiga di sini aja. Heleh. So, buat yang baru main di sini, baca buku sebelumnya dulu ya...