Bagian 6

37 2 0
                                    

"Dibully lagi?"

Tasya tersentak kecil. Dia pulang bersamaan dengan Anas yang memarkirkan motornya di halaman rumah. Pemuda itu menatapnya datar.

Pakaian Tasya kali ini jauh daripada yang kemarin, bau busuk menguar dari tubuh gadis itu. Rambut yang terlihat sangat lepek dan lengket, jangan lupakan tangan gadis itu yang terdapat darah kering.

Alda lebih parah kali ini dalam membullynya, semua itu karena Alda yang mengalami suasana hari yang buruk. Sepengetahuan Tasya, tidak jauh dari kata cinta.

"Kamu pulang?"

Anas mendengus malas mendengar itu. Berjalan melewati Tasya begitu saja dan membuka pintu rumah.

"Jangan mau diinjek-injek! Lawan mereka Tasya," ucap Anas menghentikan gerakan tangannya. "Gue udah pancing lo buat ngelawan waktu gue ngerendahin lo, tapi lo diem aja."

Anas menatap punggung Tasya dalam diam, pemuda itu tau Tasya sedang menahan tangis. Ia tidak melarang atau mungkin benci melihat perempuan menangis, itu hal wajar. Namun ia tidak suka saat gadis itu hanya diam saat tatapan, ucapan dan perlakuan mereka--termasuk dirinya sendiri--terkesan menghina Tasya.

Anas selalu mengepalkan tangannya melihat Tasya yang diam saat menerima segala olokan yang dia layangkan. Bahkan gadis itu masih bersikap biasa pada pertemuan selanjutnya, seolah semua perlakuan Anas tidak pernah terjadi.

Gadis itu terlalu baik dan lemah lembut. Hingga membuat Anas mengucapkan hal yang ia sesali sampai detik ini. Kenapa dia mengucapkan tentang kematian begitu mudah.

"Aku takut," ucapan lirih yang berhasil membuat Anas berbalik dan menghampiri gadis itu.

"Gue tau lo nggak setakut itu. Lo pernah nampar anak panti karena bentak Nenek, lo nggak mungkin lupa, kan?" Anas tersenyum tipis memegang pundak Tasya. Melihat wajah sembab itu terkejut menatapnya.

Anas menggigit dinding mulut dalamnya, menahan seutas senyum yang bisa semakin lebar. "Kenapa untuk diri lo sendiri, lo nggak bisa lawan?"

"Anas kamu inget?"

Anas mengedikkan bahunya, "kenapa nggak. Lo temen cewek pertama gue."

Mata Tasya berkaca, pandangan yang dia lihat mulai memburam. Ia senang, orang yang menolongnya, orang yang dia sayang sejak dulu, ternyata juga mengingatnya.

"Boleh aku peluk kamu?" Rasa senang membuat Tasya lupa diri. Dia tidak tau perasaan Anas sebenarnya. Mengingat pemuda itu menolak mentah-mentah pernikahan mereka, sedangkan dia sendiri tahu Tasya temannya dulu.

"Lo bau, mandi dulu sana. Terus masakin gue makanan, laper. Gue juga mau tidur di rumah malam ini." Spontan Anas melepaskan tangannya dari pundak Tasya, menutup hidung menghalau bau busuk dari tubuh Tasya.

"Kamu udah nerima aku?"

Anas terdiam, menatap dalam manik mata Tasya. Apa dia sudah menerima gadis itu, atau hanya rasa peduli semata. Kenapa dia tidak bisa memahami perasaannya sendiri.

Apa yang saat ini Anas rasakan?

•••

"CARNIFORA!" Teriakan Awan menggema di penjuru kantin, banyak pasang mata yang menatapnya namun diabaikan. Pemuda itu melambai pada seorang gadis yang berdiri mematung di pintu kantin.

Seolah tersadar gadis itu melangkah pelan kearah seseorang yang memanggilnya, hanya satu orang yang memanggilnya dengan panggilan seperti itu.

"Apa?" ketusnya. Carnia menatap Awan dengan pandangan datar.

Awan cengengesan, "Beliin gue makanan. Bakso aja," titahnya.

Carnia mendelik sinis, menatap orang di depannya shock. "Gue bukan babu lo!"

ANASTASYA {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang