Bagian 56

39 1 0
                                        

"Sorry ya, Bang. Gue–"

Anas menggeleng pelan, tak mau mendengar penjelasan Aril. Pemuda itu menegakkan tubuhnya, memasang wajah serius.

"Gue mau bahas soal Fero."

Aril dan Giral mengangguk. Mereka duduk berhadapan dengan Anas, ikut memasang wajah serius.

"Gue yakin udah cek semua ruangan di rumah Adit. Tapi nggak ada Fero, Bang," jelas Giral.

Aril menatap pemuda di sebelahnya dengan heran. "Berarti bukan ulah Bang Adit?"

"Adit ngaku ulah dia," ucap Anas menambahi.

"Waktu gue cek ruangan yang gue curiga, cuman liat tali sama kursi."

Anas menatap tersentak pada Giral. "Gue justru curiga sama Abigail, Hendra, Awan sama Dian."

Ucapan Anas membuat Aril dan Giral menatap kakak kelasnya heran.

"Gue liat mereka di rumah Adit, tapi selesai kita ribut, mereka udah nggak ada."

Aril dan Giral saling tatap. Mereka berdua seolah memiliki telepati. Aril menganggukkan kepalanya dua kali.

"Bang, lo waktu Bang Bigail sama Bang Adit berantem di parkiran liat nggak?"

Anas terdiam mendengar pertanyaan Aril. "Kapan? Gue tadi berangkat sekolah."

"Kapan, Ral?" Aril melempar pertanyaan Anas kepada Giral.

"Gue lupa, emang lo nggak liat, Bang?"

Anas menggeleng. Dalam seminggu lebih ini, dia sering bolos sekolah, karena bangun kesiangan. Bukan tanpa alasan, temannya mengajak bermain game hingga dini hari. Anas hendak menolak, namun melihat mereka jarang kumpul bersama, sekalian sebagai pengganti waktu satu tahun yang telah lalu.

"Berarti lo nggak tau kalo pacar lo lolos olimpiade nasional?" pertanyaan Aril membuat Anas tersentak.

"Tasya?" beonya.

"Iya pacar lo, lo nggak tau, Bang?" tanya Aril, lagi.

Anas kembali menggeleng. Pemuda itu benar-benar baru tahu saat ini, bahkan jika Aril tidak mengatakannya, mungkin dia tidak akan pernah tahu.

Anas menggeleng pelan, dia sudah berjanji kepada Tasya untuk menyelesaikan masalahnya terlebih dahulu. "Tadi lo bilang Bigel sama Adit berantem? Karena apa?"

"Nggak tau kita, Bang. Liatnya aja dari jauh, pokoknya Bang Adit keliatan marah besar sama Bang Bigel." Aril menjawab, diangguki setuju oleh Giral.

"Terus, kita mau gimana, Bang?" tanya Giral.

Anas terdiam. Pemuda itu terlihat berpikir serius, "Gue kayaknya mau bicara sama mereka."

"Bukannya–"

Ucapan Aril terpotong saat melihat tatapan tajam yang dilayangkan Giral. Pemuda itu menginjak kaki Aril di bawah meja.

"Aduh! Iya enggak!"

"Apa?" tanya Anas saat mendengar latah Aril.

"Bukan apa-apa, Bang. Dia asal ceplos aja tadi," ucap Giral mengalihkan. Pemuda itu semakin menatap Aril tajam.

"Apasih, gue cuman mau bilang, bukannya Bang Anas sekarang musuhan sama mereka. Emang mereka mau ketemuan sama Bang Anas yang udah mereka anggep musuh?"

Giral melotot tajam. Aril mengucapkan itu dengan entengnya tanpa melihat raut wajah Anas yang berubah.

Perkataan Aril memang tidak salah. Anas saja yang tidak sadar diri. Dirinya memang penghianat, dan sekarang, seenaknya meminta bertemu dengan mereka. Siapa juga yang mau bicara baik-baik dengan seseorang yang sudah mengecewakan mereka.

ANASTASYA {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang