Bagian 15

37 2 0
                                    

Anas mengepalkan tangannya erat. Menatap gadis di depannya dengan penuh dendam. Tatapan pemuda itu menghunus tepat ke arah Tasya, melihat gadis di depannya yang menunduk sambil memilin bajunya sendiri.

Kaki Anas bergerak, mengetuk lantai berkali-kali untuk meredakan emosi dalam dirinya yang siap meluap detik berikutnya.

Lama menunggu, tak kunjung mendapat balasan, pemuda itu mencengkram erat kertas yang berada di tangan kirinya hingga kusut.

"Lo mau jelasin sesuatu?"

Tasya masih menunduk, tak berani menatap Anas yang dia pastikan marah.

Anas semakin menekan amarahnya, menggeram tertahan, lelah menghadapi sikap Tasya.

"SIALAN! JAWAB GUE!"

Tasya tersentak, bentakan Anas kali ini terasa lebih keras dari yang lain.

Dengan patah-patah Tasya mengeluarkan suaranya. "Maaf–"

"Gue nggak butuh itu." Anas menepuk kertas di tangannya. "Maksudnya ini apa?"

Surat peringatan. Pemanggilan wali murid dari kepala sekolah. Awalnya Tasya bingung hendak memberikan kertas itu kepada siapa, jadi dengan keberanian power ranger, Tasya memberikan surat panggilan itu kepada Anas. Dan berakhir seperti ini.

Tasya sedikit menyesal memberitahu Anas jika endingnya seperti ini, namun jika bukan Anas siapa lagi.

Dia bingung, kepala dan badannya masih sakit, namun menghadapi Anas yang seperti ini lebih menyakitkan. Pemuda itu tidak main-main memarahinya. Suara, tatapan yang tajam membuat gadis itu segan untuk berbicara.

Anas sebenarnya sudah mengerti situasi seperti ini, namun ia ingin mendengar sendiri dari gadis itu. Tidak bisakan dia berbicara untuk menjelaskan, atau mungkin sekedar mengatakan kronologinya.

Jika seperti ini jangan salahkan Anas kalau...

"Orang bisu aja mau ngomong, lo yang bisa ngomong mau jadi bisu?!" Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Anas. Pemuda itu mengedipkan mata pelan, menatap Tasya yang mendongak terkejut ke arahnya, tiga detik kemudian gadis itu menunduk kembali dengan bahu yang bergerak.

"Anas–" lirih Tasya. Napasnya tercekat, menelan ludah kasar. "Aku nggak salah."

Anas menaikan satu alisnya heran, menatap gadis di depannya yang kini sudah mendongak dengan manik bergetar.

"Aku mohon percaya sama aku." Tasya memegang lengan Anas.

Anas terkekeh pelan mendengar itu. Menyentak tangan Tasya di lengannya, "Lo nyuruh gue percaya, tapi nggak mau jelasin apapun." Pemuda itu kembali mengambil napas, memasang wajah datar yang terlihat menakutkan di mata Tasya. "Gimana gue bisa percaya sama lo?"

Tasya membolakan matanya, sedikit tersenyum sembari mengangguk berulang kali. "Aku akan jelasin–" Cerita Tasya mengalir persis seperti yang Anas lihat, namun bedanya gadis itu tidak menceritakan tentang kepala sekolah yang menamparnya. Untuk apa disembunyikan, tanpa Tasya tahu jika Anas mengetahui semua lebih dulu.

"Tapi aku nggak dorong Alda, aku bukan pembunuh, kan, Anas?"

Anas hanya diam, perhatian pemuda itu kini terpaku pada surat ditangannya. "Kesalahan lo fatal, sampe dapet surat panggilan. Kalo udah gini, siapa yang dateng?"

Tasya ikut terdiam, tapi bukan keinginannya untuk mendapat surat itu. Lagian jika memang Tasya tidak salah seharusnya gadis itu tidak perlu takut kan, eh tapi lantai 4 tidak ada cctv. Bagaimana dia membela diri.

"Kamu bisa dateng?" Tasya menggigit bibirnya, sedikit lancang memang menanyakan hal itu kepada Anas. Apalagi Tasya tahu bagaimana Anas benci akan kehadirannya.

ANASTASYA {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang