Tasya menatap jendela kereta dengan datar, menatap pemandangan yang sudah menemaninya beberapa bulan ini. Telinga gadis itu tersumpal headset putih. Suara penyanyi terkenal menguasai indera pendengaran Tasya. Gadis itu memejamkan matanya saat sampai pada lirik yang begitu disukainya.
Bruno Mars — Locked out of heaven
Selama ini, pemandangan dan situasi seperti ini yang selalu menemaninya setiap harinya. Meninggalkan tanah kelahiran untuk merantau di negara tetangga.
Meninggalkan segala kenangan buruk yang pernah menimpanya. Tasya akan mencari sensasi dan pengalaman baru di negeri ini. Meninggalkan orang-orang yang disayanginya.
Niat awalnya yang hanya ingin belajar untuk menguasai lebih banyak ilmi kini beralih. Tasya juga harus kaya pengalaman, bukan hanya kaya ilmu.
Gadis itu tersenyum tipis saat mengingat pertemuan terakhirnya dengan Anas. Bisa dibilang jika kepergiannya ini terlalu mendadak. Apalagi tidak mengabari atau sekedar meminta izin kepada suaminya.
Biarkan mereka berjalan menuju jalannya masing-masing, sebelum bertemu kembali dengan tujuan dan perasaan yang sama.
Tasya sengaja mematikan ponselnya selama beberapa bulan ini, untuk sekedar beradaptasi tanpa komunikasi dari luar. Tasya tidak mau memutuskan hubungan, hanya saja dirinya perlu banyak waktu untuk lebih menggali banyak informasi mengenai negara yang saat ini dirinya singgahi.
Tasya sudah berbicara dengan Kakek, bahkan menitipkan salam untuk suaminya.
Jadi biarkan dirinya fokus mengejar apa masa depannya, sebelum memuaskan rasa rindunya kepada Anas. Bersusah-susah dahulu sebelum bahagia.
Tasya hanya ingin membuktikan mengenai ucapan Brenda. Tidak semua perempuan yang sudah berstatus istri memiliki masa depan yang suram. Status menikah tidak membuat seorang perempuan dianggap rendah. Tasya ingin memiliki karir yang bagus, yang nantinya bisa diceritakan kepada keturunannya.
Tasya juga tidak mau jika masa depannya dijadikan bumerang untuk Brenda dalam menjelekkan Anas. Anas tidak menariknya untuk sekedar menanggung pekerjaan rumah tangga.
Tasya ingin karirnya bisa dia banggakan di atas nama suaminya. Tasya bisa seperti ini karena Anas. Suaminya tidak melarangnya untuk berpendidikan tinggi.
Gadis itu ingin mengelak dari ucapan Brenda.
Perempuan yang sudah berstatus istri pun masih tetap bisa berpendidikan tinggi.
Jangan menganggap remeh seorang istri, karena bagaimanapun seorang istri nantinya akan menjadi ibu. Dan ibu adalah pendidikan pertama bagi anaknya.
Kehidupan Tasya bersama Anas tidak berakhir suram. Dan Tasya akan buktikan itu.
Tasya akan membungkam segala fitnah dari Brenda untuk suaminya.
•••
"Dulu Kakek bilang sama Anas untuk tinggal sama Tasya. Anas masih butuh waktu, Kek. Anas masih kaget buat nerima semua itu secara mendadak. Tapi sekarang Anas udah siap. Anas butuh Tasya, Kek. Anas butuh Tasya buat bimbing langkah Anas." Pemuda itu menatap Kakek yang duduk di meja kerjanya dengan sorot percaya diri.
Dirinya masih perlu waktu dulu. Masih terlalu mengejutkan bagi Anas saat tahu statusnya akan berubah dalam sekejap. Namun setiap waktu yang Anas habiskan tanpa Tasya rasanya hampa. Pemuda itu terbiasa dengan kehadiran Tasya. Mendengar ucapan menenangkan dari gadis itu saat Anas terlibat masalah.
Anas rindu segala hal tentang Tasya.
Kakek menghela napas kasar, meletakkan kertas dengan keras. "Mau kamu apa?!" tegasnya.
"Mau Tasya!" ucap Anas dengan nada datar. Menatap Kakek dengan sorot tajamnya.
"Tasya pergi buat kejar pendidikannya, Anas. Kamu mau jadi orangtua yang nggak membanggakan bagi anak kalian? Apa kata orang jika kalian masih tiga puluh tahun tapi udah punya anak sebelah tahun? Mereka akan menganggap kalian hamil di luar nikah!"
Anas semakin menatap tajam Kakeknya. "Ucapan itu cuman pemikiran liar orang lain, Kek. Selagi yang mereka ucapkan nggak bener buat apa dipikirin?"
Kakek menatap cucunya sulit. "Dengan apa kamu buktikan ucapan mereka nggak bener sementara kalian berdua cuman tamatan SMA?"
Anas menggeram rendah, melemparkan vas bunga pada meja kerja Kakeknya. "Jangan anggap rendah orang yang tamat SMA."
"Kakek nggak ngerendahin! Tapi kalian juga nggak bisa membantah ucapan orang lain jika nggak ada bukti, dewasa sedikit Anas!"
Anas memilih duduk di sofa. Menutup matanya untuk menenangkan diri. Pemuda itu mengatur napasnya yang memburu, terlalu emosi hingga hampir hilang kendali.
"Jalani kehidupan kamu seperti biasa, seperti saat kamu belum memiliki istri. Kamu juga harus kuliah meskipun sudah terikat pernikahan." Kakek membenarkan letak kacamatanya. Berjalan pelan menghampiri cucunya.
"Tasya seperti itu juga ingin membuktikan ucapan Brenda."
Anas menegakkan tubuhnya, menatap Kakek meminta penjelasan.
"Brenda pasti akan menganggap jika Tasya tidak mencapai pendidikan tinggi karena kamu. Kamu akan disalahkan dan direndahkan oleh Brenda. Karena terikat dengan kamu, kehidupan Tasya harus suram. Setidaknya Tasya bisa mengelak dengan membanggakan jika dia lulusan universitas di Singapura." Kakek tersenyum miring. Menatap Anas dari atas hingga bawah. "Apa yang mau kamu banggakan?"
"Jangan bilang kamu akan cerita ke anakmu kelak kalo kamu cuman lulusan SMA dan beruntung karena menjadi pewaris. Gampang, selagi kamu kaya, dunia juga bisa kamu taklukkan. Kamu akan bilang begitu pada anakmu? Kamu akan mengajarkan dia untuk mengandalkan latar belakang keluarga tanpa usaha?"
Kakek terkekeh miris melihat Anas yang terdiam dengan kepalan tangan. "Tasya justru lebih dewasa daripada kamu. Pemikiran gadis itu luas. Apa perlu Kakek suruh Tasya ceraikan kamu? Karena kalian tidak sederajat! Tasya lebih tinggi dari kamu, Anas."
"Jaga bicara Anda!" Anas spontan berdiri, menunjuk Kakek tanpa sopan santun. Pemuda itu mengusap kasar wajahnya saat melihat tatapan datar Kakeknya. "Maaf. Tapi Anas—"
"Kakek paham. Kamu dulu bisa menjalani sebelum ada Tasya, kenapa sekarang tidak bisa? Tasya akan menyalahkan dirinya sendiri, karena dia yang tidak menerima penawaran pendidikan tinggi ini, harga diri suaminya diinjak oleh ibu kandungnya sendiri. Kamu mungkin bisa cuek. Tapi Tasya tidak."
Anas mengangguk pelan, mencoba memahami. Dia juga tidak terima jika kelak saat sudah memiliki keturunan, dirinya justru mengajarkan hal buruk kepada anaknya. Anas juga ingin berbagi cerita bagaimana serunya merintis, bukan hanya mewaris dan menjadi bergantung dengan latar belakang keluarga.
Anas juga ingin melatih anaknya untuk kerja keras. Anas ingin membanggakan dirinya sendiri di depan anaknya kelak. Bukan hanya Tasya. Dirinya juga ingin menjadi sekolah pertama untuk anaknya. Dirinya ingin bisa menjawab segala pertanyaan anaknya, dirinya juga ingin dianggap sebagai superhero bagi anaknya kelak.
Anas tidak mau terlihat payah dan bodoh di depan anaknya sendiri.
•••

KAMU SEDANG MEMBACA
ANASTASYA {END}
Novela JuvenilDicintai secara tsundere? Di mana enaknya?! About Tasya dan Anas. Keadaan yang mengikat Tasya dan Anas dalam suatu hubungan pernikahan. Akibat wasiat dari Nenek Tasya, kehidupan Anas bertambah rumit. Anas hanya ingin mencapai tujuannya, berharap ti...