Bagian 24

42 2 0
                                    

Anas menatap ponselnya yang berdering. Memandang dengan sinis nomor asing yang berusaha menghubunginya, ini sudah percobaannya yang ke-5. Sejak lima kali itu juga, Anas hanya memandang tanpa niat untuk mengangkatnya.

Pemuda itu menghela napas saat ponselnya berbunyi sekali, tanda ada pesan masuk.

08______

Pulang!
Sudah cukup kamu tinggal di rumah papa

Anas menatap datar pesan itu. Manik jengahnya yang capek kini terlihat saat ponselnya kembali berdering.

Terpaksa, pemuda itu mengangkat ponselnya.

"Pulang kamu Anas!"

Anas hanya diam, mencoba menunggu kalimat selanjutnya dari penelpon.

"Kamu dengar, kan?"

"Saya sudah pulang dari dulu saat saya masih kecil. Jadi maksud Anda, kemana saya harus pulang?" Anas menyilakan kakinya, menatap datar pemandangan gelap di depannya. Pemuda itu hanya menggunakan celana tanpa atasan, menampilkan otot tubuh atasnya yang terlihat manly.

"Pulang ke rumah Papa dan Mama."

Anas berdecak sinis, menoleh ke arah samping, tepatnya di balkon kamar Tasya yang sudah gelap. Lagian ini juga sudah tengah malam, gadis itu pasti sudah tertidur. Dan makhluk yang menelponnya tidak memiliki adab, menelpon tengah malam tanpa tau akan mengganggunya.

"Jangan menyuruh saya, seakan kalian sudah menyesal dengan kelakuan kalian." Anas tersenyum miring sejenak, merangkai kalimat lain di otaknya meskipun mata gelap itu sudah berkaca. "Seorang Brenda Arendra dan Fajar Arendra, mengemis kepada orang asing hanya demi anak pungutnya? Komedi yang lucu!" Anas mematikan teleponnya sepihak, apalagi saat mendengar suara berat seorang pria yang berbicara, meminta untuk mengambil alih ponsel. Anas tidak sudi mendengar suara pria paruh baya itu.

Pemuda itu meremat ponselnya kuat, menunduk dengan tangan yang meraup kasar wajahnya. Anas mengatur napasnya yang mulai terasa berat. Menekan kedua maniknya dengan jemari.

Memilih memasuki kamar dan berbaring tengkurap, memeluk guling dan mencoba terlelap.

•••

Tasya menatap punggung Anas. Pemuda itu melamun dengan setoples nastar di pangkuannya. Biasanya, tangan Anas akan aktif mengambil isi toples dan memakannya, meskipun tatapan matanya tidak fokus. Tidak seperti sekarang.

Pemuda itu hanya menatap datar televisi di depannya, menampilkan suara tawa dari hewan kartun, seolah menertawakan Anas yang terlihat menyedihkan. Tasya iseng mengambil remot dan mematikan siaran, menatap ke arah Anas yang geming di tempat. Tak terganggu. Manik pemuda itu memandang jauh, penuh kekosongan.

Kalau seperti ini, Tasya jadi khawatir dengan suaminya.

"Anas? Hey?" Tasya melambaikan tangannya, gadis itu menggoyangkan lengan Anas pelan.

Anas berdecak, "Apa?"

"Kamu ngelamun?"

"Nggak. Gue sadar. Bahkan gue juga sadar lo matiin siarannya." Pemuda itu menjawab tak acuh, menaruh nastarnya di meja kaca dan mulai beranjak menuju kamar.

"Nastarnya nggak enak?" Pertanyaan Tasya mampu menghentikan langkah Anas, pemuda itu menoleh di tengah tangga.

"Nggak tahu, gue belum coba. Gue ngantuk, mau tidur. Jangan masuk kamar gue!"

Tasya mengernyitkan alisnya heran, bukankah memang seperti itu. Tasya hanya akan masuk jika ada perlu. Apa maksud perkataan Anas?

•••

ANASTASYA {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang