Bagian 10

44 2 0
                                    

Anas menatap gadis di depannya dalam diam. Tangan gadis itu sedikit gemetar saat menyerahkan sebuah buket bunga lumayan kecil dengan sebuah kotak tertutup. Kotak tersebut dilapisi sebuah kain merah beludru, dengan ikatan pita biru gelap.

Rok sedikit panjang, tepat menutup lututnya. Kacamata yang kerap kali dia benarkan, serta rambut pirangnya yang tergerai.

Tahi lalat di bawah mata kirinya terlihat mencolok, meskipun kecil siapapun akan terpesona dengan itu. Tatapan mata yang senantiasa menatap Anas dengan gugup, manik hitam yang berkilau. Menanti sebuah kalimat keluar dari mulut pemuda yang dia kagumi selama ini.

"Makasih," ucap Anas singkat.

Gadis itu berbinar saat tangan Anas menerima sebuah buket dan kotak darinya. "Sama-sama."

Hendra mengirim kode kepada Anas, menyuruh pemuda itu untuk mendekat pada mejanya yang sudah terdapat Adit dan pacarnya.

Pemuda itu berjalan menghampiri temannya diikuti oleh gadis itu.

"Kiw kiw, gimana?" Pacar Adit menaik turunkan alisnya menggoda. Menatap gadis bermata empat dengan penasaran.

"Gimana apanya, Fer?"

Feral mendengus malas. "Lo gimana sih, ya gue tanya yang tadi."

Gadis berkacamata itu menunduk setelah melirik Anas yang kini sudah fokus meracik bakso pesanan Hendra.

Feral yang mengerti keterdiaman Shaquel, melirik sinis ke arah Anas. "Sombong amat jadi orang. Dikira dia seganteng itu apa, sampe nolak cewek yang suka sama dia."

Sementara pemuda yang dibicarakan hanya mengangkat pundak tak acuh, fokus memakan makanannya.

"Feral udah, aku udah lega setelah ngungkapin semua itu." Shaquel tersenyum lebar, memikat satu hati dalam meja tersebut.

"Nggak bisa, setidaknya dia harus menghargai perasaan lo," gertak Feral. Gadis itu berdiri sembari menatap tajam ke arah Anas.

"Lo siapa?"

Pertanyaan singkat Anas berhasil membuat Feral memberang. "Sialan!"

Anas terkekeh pelan. Jodoh cerminan diri, Anas akui itu terjadi pada Adit dan Feral–entah seterusnya putus atau memang jodoh hingga akad. Keduanya sama-sama mudah terpancing emosi.

"Dia nggak sewot kok lo yang ngebac** sih?" Dian memasang wajah julid pada Feral.

"Kalian sama aja. Sok ganteng!"

Hendra menghela napas, "Emang lo tau hidup Anas? Enggak, kan!" Pemuda itu menatap shaquel dengan pandangan menilai. "Gimana kalo Anas udah punya pacar?"

Suara batuk mengalihkan perhatian mereka semua. Shaquel menyambar minuman di stan dekat mereka dan menyodorkan pada Anas.

"Minum pelan-pelan, Nas." Shaquel membuka tutup botol dan menyerahkannya pada Anas yang diabaikan oleh pemuda itu.

Pemuda itu lebih memilih mengatur napasnya daripada menerima pemberian dari Shaquel.

"Lo kenapa?" tanya Awan heran.

Anas hanya menggeleng kecil, dan kembali memakan makanannya.

Feral menggeram marah. Hampir melayangkan tamparan sebelum sebuah suara menginterupsi.

"Tamparan, termasuk tindakan bullying secara non-verbal." Hendra berucap tegas. Hampir mencengkram pergelangan tangan Feral jika saja dia tidak ingat itu juga termasuk pembullyan.

"Lo sombong Anas! Sangat sombong, gue yakin nggak ada seorang pun yang akan jadi cinta sejati lo kecuali Shaquel." Jari Feral menunjuk gadis berkacamata itu, "Lo menyia-nyiakan cinta sehebat cinta Shaquel. Gue pastiin lo nyesel!"

ANASTASYA {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang