Bagian 29

37 1 0
                                    

Tatapan kagum tidak pernah lepas dari manik Tasya, sejak mereka memasuki gerbang menjulang menuju gedung SMA Bratandana Academi.

Sebuah patung pejuang pendidikan yang berdiri di tengah saat memasuki wilayah Bratandana. Halamannya yang luas seperti sebuah kampus ternama. Sebuah bangunan bertingkat terlihat, berdiri 3 gedung yang terbangun berhadapan antara satu dengan yang lain.

Pada bagian tengah gedung terdapat tempat yang sudah terbagi atau teratur untuk parkir siswa. Sebelah Kanan untuk motor dan sebelah kiri untuk mobil. Kendaraan elit para siswa sudah terparkir ramai meskipun waktu masih menunjukan pukul 06.30.

Bagian depan gedung untuk kelas 10 terdapat lapangan basket outdoor. Sementara gymnasium untuk olahraga indoor terletak di antara gedung kelas 11 dan 12, namun meskipun begitu pintu penghubung tidak hanya melalui gymnasium.

Di setiap gedung terdapat kantin yang sudah disediakan sekolah.

Rumput hijau yang terasa halus mengalasi halaman, meskipun jalur kendaraan sudah aspal hitam.

Anas membantu Tasya untuk turun dari motornya, pemuda itu membuka helm. Menatap Tasya yang sedang meniup poni depannya yang menutupi mata, Anas terkekeh pelan, merasa lucu.

"Nggak terbiasa pake helm, makanya jadi berantakan rambut lo," ucap Anas terkesan mengejek.

"Asal kamu tau aja, kamu bawa motor ngebut banget, rambut aku jadi terbang-terbang." Tasya itu anti dengan tatapan orang-orang kepadanya, mereka seakan menatap aneh pada dirinya. Namun kini gadis itu tidak sadar bahwa semenjak dia duduk di motor Anas, sudah menjadi perbincangan panas para siswa.

Mereka berbondong berdiri di pinggir koridor, saling mendesak untuk menyingkir. Mengucapkan kalimat penasaran yang menjurus pada opini bodong. Mereka sibuk menerka, gadis cantik yang membuat seorang Alanas terkekeh.

"Lo aja yang nggak bisa pake helm," ucap Anas. Pemuda itu menghela napasnya pelan, bergerak maju meraih rambut Tasya untuk dia benarkan.

Jarak mereka begitu dekat, dengan begini Tasya bisa melihat wajah tampan Anas yang terlihat serius.

Suara teriakan yang bersahutan membuat Tasya menengok spontan, meninggalkan aktivitas Anas yang menggantung.

"Anas? Anterin ke kelas aja," pinta Tasya. Gadis itu menunduk, menarik ujung jaket Cornelord yang digunakan Anas.

"Oke."

"KAKAK ANAS!"

Tubuh Anas membeku, kaku ditempat. Tak mengelak saat sebuah tangan melingkar di pinggangnya, tatapan Anas masih kosong. Bahkan saat Tasya yang melepaskan tarikannya dan mundur selangkah, Anas tak sadar. Pemuda itu masih terlalu terkejut dengan ini. Sekelebat ingatan dan ucapan-ucapan kepadanya membuat manik pemuda itu berembun.

"Anak nggak tau diri!"

"Mati kamu ditangan saya!"

"Berarti kamu pembunuh Mamanya Tante Brenda dong?"

"Pembunuh!"

"Pem..."

"Bu..."

"Nuh..."

"Bunuh.."

"Pembunuh..."

Anas masih terdiam saat tangan lentik yang merangkul pinggangnya kini berangsur naik, menangkup pipinya. Pemuda itu masih di bawah kesadarannya, pikiran dan maniknya tidak sinkron.

"Kakak? Ini Starla, ayo pulang. Starla mau sama Kakak."

Anas menggeleng pelan, menatap tajam manusia di depannya, tangan lancang yang sudah menyentuhnya wajib patah. Anas menggenggam pergelangan tangan Starla, meremasnya kuat, tak mengindahkan ringisan dari bibir gadis itu.

ANASTASYA {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang