Anas melajukan motornya kalap, menyalip beberapa motor yang masih berlalu di gelapnya malam. Di belakangnya motor Hendra dan Abigail yang saling membonceng terlihat menyeimbangi. Mencoba mensejajarkan dengan motor Anas, mengingatkan untuk pelan.
Mereka tidak tahu ada apa sebenarnya, yang pasti keselamatan nomor satu.
Suara Awan yang mengudara, Anas abaikan. Pemuda itu mendengar, hanya saja bukan waktunya untuk meladeni Awan. Perasaannya sudah tidak tenang, apalagi mengingat pertemuan terakhirnya dengan Tasya tadi.
Hendra mengernyitkan alisnya heran saat memasuki gang sempit menuju daerah perumahan. Apalagi daerah sini terkenal gelap, lebih mengherankannya lagi saat melihat motor Anas berhenti di tengah jalan.
Anas mengerem motornya mendadak, saat melihat siluet orang yang dikenalnya.
Pemuda itu mematikan motor, melepas helm terburu dan berlari menuju ke arah Gamma.
"BA****** LO GAMMA!"
Teriakan itu membuat Tasya yang meringis di bawah Gamma tersentak. Mendorong dada Gamma hingga pemuda itu terduduk.
Tasya menghela napas lega dalam keadaan telentang. Menutup wajahnya menghalau air mata yang ia tahan sedari tadi. Gadis itu duduk, menelungkupkan wajahnya di lutut. Mengabaikan panggilan Awan dan Dian yang menenangkannya.
Anas menggila. Pemuda itu memukuli Gamma kalap, tak memandang lawannya yang sudah tidak sadarkan diri. Kepala Gamma Anas seret, membenturkannya ke trotoar di pinggir jalan. Kepala dalam tangan Anas mengeluarkan banyak darah. Sebelum pemuda itu bertindak lebih, Abigail menarik kerah Anas menjauh.
Sementara Hendra mengecek napas Gamma yang mulai melemah. Pemuda itu menahan napas panik. Melirik Anas yang justru memukul Abigail yang menghalanginya. Kembali berjalan menghampiri mangsanya sebelum Hendra berdiri menjadi tameng Gamma.
"Insaf Nas, woilah!" Awan memegang kepalanya gelisah. Apalagi melihat ekspresi pemuda itu yang memerah. Urat leher yang menonjol, tatapan mata yang tajam, serta tangan yang terkepal. Bahu pemuda itu naik-turun, dengan napas yang tidak beraturan.
"Dia harus mati, Hen!" bentakan itu membuat Tasya mengangkat wajahnya. Melihat Anas yang hampir memukul Hendra sebelum tangan Abigail menghalangi, padahal pemuda satu itu juga terkena pukulan dari Anas.
Tasya memegang perutnya yang tadi sempat diinjak Gamma, berdiri, berjalan mendekat pada Anas.
Hingga suara dari Dian menghentikannya. "Neng jangan deketin serigala yang lagi marah, bahaya. Nanti dicakar loh," ancam Dian, namun diabaikan Tasya.
Dengan langkah tertatih sembari memegang perut, gadis itu menghampiri Anas yang memukuli Gamma, padahal pemuda itu tahu, jika mangsanya sudah sekarat. Sementara Abigail dan Hendra sudah terduduk dengan sedikit memar di wajahnya.
Tangan Tasya terulur, menyentuh bahu Anas pelan. Sebenarnya Tasya juga takut, tapi gadis itu lebih takut gelar pembunuh tersemat dinama suaminya. "Anas?" panggilnya lirih.
Gerakan Anas yang memukuli Gamma terhenti, pemuda itu menghempas tubuh Gamma dan berbalik. Menangkup wajah gadis di depannya. Napas Anas masih tak teratur, apalagi ia dipaksa mengendalikan emosinya saat ini.
"Lo gapapa?"
Tasya tersenyum tipis, sedikit senang dengan pertanyaan Anas. Gadis itu mengangguk pelan.
Anas menerjang Tasya dengan pelukan, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher gadis itu.
Tasya terdiam sejenak sebelum membalas pelukan hangat suaminya, gadis itu menumpahkan segala tangisan dan ketakutannya di bahu Anas. Isakan pilu yang membuat Abigail, Hendra, Awan dan Dian terdiam. Mereka memandang dua insan yang masih berpelukan dengan sendu.

KAMU SEDANG MEMBACA
ANASTASYA {END}
Roman pour AdolescentsDicintai secara tsundere? Di mana enaknya?! About Tasya dan Anas. Keadaan yang mengikat Tasya dan Anas dalam suatu hubungan pernikahan. Akibat wasiat dari Nenek Tasya, kehidupan Anas bertambah rumit. Anas hanya ingin mencapai tujuannya, berharap ti...