"Setiap hal dateng bakalan ada masanya buat pergi. Kita nggak bisa prediksi kapan dan saat kayak gimana. Tapi kita bisa cegah, dengan komunikasi." Tasya melipat baju terakhir milik Anas. Menaruhnya di tempat dan berjalan untuk duduk di sebelah ranjang.
"Bicarain baik-baik sama mereka. Kalo mereka emang udah hilang respect sama kamu, ya kamu bisa apa?"
"Anas, apa kamu udah bener-bener yakin kalo mereka benci sama kamu?" Tasya mengelus rambut Anas yang merangkak mendekatinya. Pemuda itu menempelkan kepala di paha Tasya. Menyembunyikan wajah itu di perut sang istri.
"Gue nggak tau, gue ...."
"Ada banyak yang harus kalian bicarain. Kamu udah coba dengar pendapat mereka? Perasaan asli mereka?"
Anas ingat, dirinya pergi meninggalkan markas bahkan saat Dian mencoba untuk angkat bicara. Perasaan bersalah terlalu dominan hingga membuat Anas ingin segera lari, menghindar dari mereka.
Anas tidak bisa meluangkan waktunya sejenak untuk mendengarkan mereka. Anas terlalu mementingkan egonya.
"Mungkin itu hanya perasaan bersalah kamu. Kamu tanya mereka baik-baik, oke? Aku rasa pertemanan kalian terlalu lucu kalo harus hancur karena masalah ini. Walaupun aslinya berat buat mereka."
"Sya, gue jahat banget ya?"
Tasya tertawa pelan, menepuk punggung Anas cukup keras. "Baru sadar? Dari kecil kamu udah jahat. Udah berani aja lawan anak kecil sampe nangis."
"Bukan itu–"
"Iya. Kalo untuk masalah ini, kamu jahat. Tapi aku paham posisi kamu walau nggak sepenuhnya. Jadi kamu emang sulit, tapi situasi yang buat kalian saling menyakiti."
Anas menutup matanya saat merasa dadanya semakin sesak. Pemuda itu semakin menenggelamkan mukanya ke perut Tasya, saat merasa matanya memanas. Tenggorokannya panas saat menahan isakan dengan sekuat tenaga.
"Laki-laki itu boleh merasa kalah. Nggak selalu laki-laki harus menang. Air mata itu beban, kalo nggak dikeluarin gimana kita cari solusi? Nggak peduli mau itu laki-laki atau perempuan, setiap orang pasti akan merasa capek. Mau nangis?"
Anas meremat bagian belakang daster yang Tasya gunakan. Menyalurkan rasa sesak di rongga dadanya. Air mata yang coba dia tahan sedari tadi meluap.
Anas capek. Dia kehilangan arah untuk masalahnya. Bolehkan dia berharap sedikit keringanan untuk menghadapi semua itu?
Ada banyak kalimat yang ingin Anas keluarkan, tapi semua itu terhalang ego. Bagaimana dia bisa mendengarkan keluh kesah orang lain, sedangkan Anas tidak pandai merespon.
Sedari awal, Anas tau ini sulit dia lakukan. Membawa perasaan untuk melakukan balas dendam, itu kesalahan besar. Karena kamu akan tenggelam oleh perasaanmu sendiri.
Tapi uluran tangan dari Tasya sangat membantu Anas. Gadis itu selalu berpikir dengan logika dan perasaan, seimbang.
Anas selalu butuh Tasya jika ada masalah.
"Mereka masih peduli sama kamu, aku tau itu."
Anas sedikit mengangkat wajahnya yang sembab. "Kenapa?" tanyanya dengan suara serak.
"Hendra tadi chat aku, dia nanyain kamu. Aku beberapa hari belakangan ini mungkin bakalan banyak ketemu sama dia, karena kebetulan masuk kandidat perwakilan sekolah buat lomba tingkat provinsi."
Anas terdiam sejenak, jika Hendra mungkin tidak pernah diragukan lagi, memang pemuda itu yang selalu menjadi perwakilan jurusan.
Tapi biasanya jurusan IPA itu, Adit.

KAMU SEDANG MEMBACA
ANASTASYA {END}
JugendliteraturDicintai secara tsundere? Di mana enaknya?! About Tasya dan Anas. Keadaan yang mengikat Tasya dan Anas dalam suatu hubungan pernikahan. Akibat wasiat dari Nenek Tasya, kehidupan Anas bertambah rumit. Anas hanya ingin mencapai tujuannya, berharap ti...