Bagian 19

21 3 0
                                    

Anas menyerah. Ingin mengelak namun semua terasa percuma. Ini sia-sia. Mau seberapa keras Anas membuat alasan, semakin kuat juga bau-bau kebohongannya.

Akhirnya pilihan mereka jatuh pada nastar. Mereka juga memutuskan untuk membuatnya di rumah Abigail.

Hari ini, tepatnya menjelang senja, Anas menghampiri kamar Tasya dengan muka merah padam.

"Ajarin gue!" Anas menggaruk tengkuknya canggung. Menatap gadis di depannya yang mengernyit heran, tak paham dengan ucapan Anas. "Ajarin gue buat nastar."

"Kamu mau nastar? Biar aku buatin," tawar Tasya. Sudah lama juga Anas tidak memakan nastar, setelah larangannya waktu itu, Tasya serius dengan ucapannya. Gadis itu tidak membuatkan Anas nastar sampai saat ini.

Tasya melangkah keluar dari kamar, sebelum lengannya dicekal oleh Anas. Gadis itu menatap lama tangan Anas di lengannya, mengulum bibir menahan senyum.

"Ajarin gue. Gue mau latihan buat praktek masak." Anas membuang muka.

Tasya menatap penuh selidik sebelum mengangguk pelan. "Oke!"

•••

"Lo beneran bisa masak nggak sih?!" Abigail sedikit membentak. Menatap adonan kue yang pecah-pecah di dalam oven.

Sementara pelaku hanya menatap dalam diam sembari menggaruk pipinya bingung.

Dia sudah melakukan semua sesuai dengan arahan Tasya. Gadis itu menjelaskan secara rinci dan hasilnya sesuai harapan. Namun ini, saat percobaan langsung di rumah Abigail, tidak seperti dugaannya.

Anas yakin, dia sudah benar. Takaran, adonan, bahan, semua persis seperti contoh Tasya. Apanya yang salah.

Kenapa kue buatannya bengkak dalam oven?

"Udah." Hendra melerai. Pemuda itu mengeluarkan loyang, menjadikannya satu dalam mangkok besar. Tangan pemuda itu mengambil sedikit nastar yang menyerupai bubuk untuk dia cicipi.

"Enak loh," puji Hendra. Pemuda itu menyodorkan mangkok kepada mereka. "Cobain, bentuknya memang hancur, tapi rasanya sama."

Mereka mencicipi satu persatu kecuali Anas, pemuda itu masih mencerna apa yang salah dari masakannya.

"Iya sih, tapi tampilan itu utama buat narik minat pelanggan." Awan berkomentar.

"Sekarang lo jujur, nastar waktu itu bukan buatan lo kan?" Abigail menatap intimidasi.

Anas menghela napas. "Iya."

"Lah?"

"Eh?"

Dian dan Awan tersentak pelan. "Terus buatan siapa?" tanya mereka bebarengan.

•••

Di sinilah mereka berakhir. Di rumah Kakek atas paksaan mereka semua. Dan ini pertama kalinya mereka melihat tempat tinggal Anas.

Sebelumnya mereka tidak pernah tahu bahkan tak ada niatan mereka penasaran dengan bentukkan rumah Anas.

Tapi saat ini, Anas terpaksa membawa mereka di rumah Kakek, daripada rumahnya yang sekarang ditinggali. Beruntungnya rumah Kakek sepi, pria paruh baya itu sedang melakukan perjalanan bisnis keluar kota.

"Ayo buat sekarang." Awan bangkit penuh energi. Pemuda itu menepuk pelan pahanya.

"Bentar." Tangan Anas bergerak, menyuruh Awan untuk duduk.

"Nunggu siapa? ART lo di sini, kan?"

Anas hanya diam tak menanggapi pertanyaan menggantung dari Awan.

ANASTASYA {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang