Bagian 57

16 1 0
                                    

Anas memasuki cafe dengan pakaian kasualnya. Pemuda itu hanya memakai kaos lengan pendek berwarna putih dengan celana jeans berwarna dark blue. Tangannya menenteng hoodie berwarna senada dengan atasan.

Anas meliarkan pandangannya, hingga melihat Awan yang berdecak lumayan keras.

"Sorry," ucap Anas. Pemuda itu menarik kursi kosong untuk diduduki.

"Lo kal–" Dian seketika bungkap saat merasa ucapannya terdengar akrab dengan Anas.

Selalu! Persis seperti Anas yang dulu kita kenal

Dian terkekeh miris, keadaan sekarang dan dulu sudah berbeda. Mau sebagaimana Anas berperilaku, bagi mereka Anas tetap meninggalkan mereka. Sendirian, terjebak di sangkar burung yang mengekang.

"Perlu apaan lo? Cepet kita nggak ada waktu banyak buat ngeladenin penghianat kayak lo!"

Lagi, ucapan Abigail tidak pernah lepas dari gelar Anas.

"Kalian semua tau Fero?" Anas melihat mereka tetap diam, menunggunya untuk melanjutkan ucapan. "Tau dia di mana? Udah seminggu lebih dia hilang."

"Kenapa lagi tuh penghianat satu?" tanya Awan terkesan songong. Masalahnya pemuda itu bertanya sembari menaikkan dagu angkuh.

Anas menghela napas lelah. Haruskah dia langsung frontal mengucapkan jika mereka menculik Fero? Atau perlu dengan basa-basi agar suasana tidak semakin buruk?

"Fero disekap Adit di rumahnya, dan sekarang udah nggak di sana lagi. Kalian tau?"

Dian menendang meja dengan keras, beberapa pasang mata langsung menatap ke arah mereka.

"MAKSUD LO APA NJ***!" teriak Dian keras. Hendak menarik kerah baju Anas jika tidak ditahan Hendra.

"Setelah semua perbuatan bejat, lo. Sekarang lo juga nuduh kita?" Hendra berucap tenang, tangan pemuda itu tetap menarik kerah belakang Dian agar tidak menerjang Anas.

"Penghianat, penguntit, dan sekarang lo juga jadi tukang fitnah?" ledek Abigail. Menyenggol kaki Anas dengan kakinya.

Anas diam dengan tatapan datar. "Terus lo pada ke mana waktu di rumah Adit?"

"SI**** LO ANAS!" Dian kembali berulah. Kali ini tidak bisa dihentikan oleh Hendra.

Pemuda itu menarik kerah Anas, menyeretnya menuju belakang cafe, mencari tempat yang cocok untuk memukuli Anas.

Dian melampiaskan seluruh kemarahan yang selama ini membebani setiap malam.

Pemuda itu selalu menyimpan semua perasaan dan rasa kecewanya dalam diam. Bahkan saat harus kumpul dengan Adit, Dian akan memasang wajah biasa. Ada yang berbeda dengan pemuda itu. Suasana ceria yang biasa dia pancarkan dengan perkataan dan gaya bicaranya, namun semenjak mereka mengetahui Anas sebagai penghianat, Dian menjadi lebih pendiam.

Dian tidak bisa dibilang orang yang paling dekat dengan Anas. Mereka semua dekat. Dan rasa kecewa mereka kepada Anas sama besarnya. Mereka berlima sudah saling menganggap sebagai keluarga. Jika satu bagian keluarga hilang, bukankah rasanya sangat menyedihkan?

"BRE*****!" Dian mengakhiri pukulannya dengan tendangan kuat pada perut Anas. Membuat pemuda yang tidak pernah melawan itu terduduk.

"Lo tega ninggalin kita semua di Cornelord! Karena lo kita semua menderita!" bentak Dian, menunjuk-nunjuk wajah Anas yang terlihat datar.

Hendra mengalihkan wajahnya, pemuda itu tahu apa yang akan terjadi.

"Maaf," lirihan Anas dibalas dengan  kekehan dari Dian.

ANASTASYA {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang