Bagian 11

35 2 0
                                    

"Anas kamu tidur di mana?"

Anas mengerutkan alisnya tak suka. Pemuda itu memakan kue nastar buatan Tasya, tanpa menjawab pertanyaan yang menggantung dari gadis itu.

Sebelumnya dia memang bukan pecinta nastar seperti sekarang, namun kini makanan itu menjadi salah satu makanan kesukaan Anas. Beberapa hari yang lalu dia meminta (lebih tepatnya memerintah) Tasya untuk membuat nastar lebih banyak.

Awalnya Tasya tak yakin, takut mubazir, namun Anas yang menanggung semua nastar tersebut. Pemuda itu bisa menghabiskan 1 toples nastar dalam sehari.

"Anas?"

Anas hanya berdehem. Masih menikmati nastarnya di atas sofa, tangan Anas memangku sebuah toples bening.

Tasya menghela napas pelan. "Jangan makan banyak-banyak," tegur Tasya. Gadis itu masih memegang kemoceng, siap melemparkan benda itu kepada Anas, kalau berani.

"Ya." Jawaban yang Anas keluarkan terkesan tak acuh.

Tasya hanya tersenyum tipis mendengar itu. "Nanti malam kamu tidur sini apa mau keluar?"

"Ngapain sih nanya itu mulu!" Anas menaruh toples kosong sedikit kasar. Bangkit, berdiri di depan Tasya. "Lo nggak suka gue di rumah?"

"Bu—"

"Seharusnya gue yang nggak suka lo di sini!"

Tasya menatap punggung Anas yang menaiki tangga dengan heran. Ada masalah apa lagi pemuda itu?

Tasya hanya berniat tanya, untuk memastikan dia perlu memasak atau tidak. Bukan dengan niat lainnya, sungguh.

•••

"Diem nj***!" Anas menggebrak meja, membuat orang yang berisik di sekitarnya senyap seketika.

Ruangan kelas mereka sedikit senggang. Awan dan Dian yang sedang berdebat terdiam. Jari telunjuk mereka berdua masih mengacung, dengan mulut terbuka.

Hendra berhenti bermain game horor, meletakan ponselnya dan menatap Anas bingung.

Abigail tersenyum miring dengan tangan menggaruk alisnya.

"Lo ada masalah?" tanya Hendra. Biasanya ketika Awan dan Dian atau murid kelas mereka berisik, Anas tak mempermasalahkan hal itu, sekalipun dalam keadaan mengantuk pasti pemuda itu hanya abai. Enggan menegur atau bahkan mengerusuh, tidak seperti sekarang. 

Anas menatap datar, melangkah keluar untuk menjernihkan pikirannya yang semrawut satu minggu ini.

"Mood dia anjlok tuh," ucap Abigail. Semakin menaikan alisnya dengan dagu yang diangkat. Menatap teman-temannya dengan senyum miring.

Dian menggigit bibir bawah, "Kata gue sih jangan ya."

"Jangan mancing emosi!" Hendra menepuk pundak Abigail dan sedikit menekannya, membuat pemuda itu meringis pelan.

"Lo tau maksud gue?" tanya Abigail.

Awan tersenyum lebar. "Mudah ditebak!"

"Gue ada bahan buat dia." Abigail tersenyum. Pemuda yang jarang menampilkan senyumannya itu kini tersenyum, membentuk lengkungan licik.

Hendra menghela napas meladeni temannya. Yang dia anggap waras hanya Anas, udah paling bener pemuda itu.

•••

Anas menabrakan badan bola pada dinding dititik tertingginya, menangkap dan melemparkannya kembali. Berulang melakukan itu hingga suara seseorang di belakangnya terdengar.

"Anas, bukannya nggak ada jadwal latihan?" Pemuda itu melepas sepatunya, menggunakan kaos kaki di area gymnasium.

"Bang? Ngapain kesini?" Anas menghentikan kegiatannya, menghampiri mantan ketua voli angkatan diatasnya.

ANASTASYA {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang