Bagian 16

28 2 0
                                    

Tasya menatap dalam diam wanita yang berdiri sedikit membungkuk di depannya. Jari wanita itu mengacung, menunjuk Tasya yang hanya diam geming di tempatnya. Melontarkan kalimat yang sering anaknya ucapkan kepada Tasya. Dan sekarang Tasya sadar dari siapa sifat Alda menurun.

Teriakan, bentakan, hinaan, semua kejelekan terlontar tanpa beban dari mulut wanita itu.

Gadis itu melirik kepala sekolah yang memasang wajah songong, bersedekap dada. Di sebelahnya berdiri wakil kepala sekolah yang menatapnya tak enak hati, seolah ingin membantu padahal Tasya tahu niat terselubung wakil kepala sekolah. Apalagi jika bukan menumbalkan Tasya kepada anak semata wayangnya, Gamma.

Seluruh guru yang menunduk tak ingin campur urus. Ada sebagian yang menatapnya meremehkan, seolah menyalahkan Tasya karena berurusan dengan orang yang tidak tepat.

Pintu yang berdecit karena sedikit desakan dari luar, siswa-siswi yang berusaha menguping, kepo dengan urusan orang lain. Dalam ruangan keadaan hanya hening kecuali suara menggelegar milik Ibu Alda. Cicak pun enggan bersuara mendengar teriakan wanita itu.

"Nggak ada adab!" Wanita itu menampar Tasya. Menarik senyuman miring milik kepala sekolah. "Perempuan macam apa kamu? Melakukan tindak asusila padahal masih remaja belia?"

"Apa yang mau kamu banggakan sampai berani mencelakai anak kesayangan saya?!"

"Miskin! Lihat sekarang tidak ada wali yang membela tindakan kamu, lagi, apa yang harus dibela dari tindakan kriminal kamu?"

"Kecil-kecil udah mau jadi buronan, apalagi sudah besar!" Ibu Alda mendengus, menatap hina pada Tasya yang terduduk di depannya.

Siapapun yang mencoba mengganggu keluarganya maka dia yang akan turun tangan langsung. Apalagi menyangkut anak tunggalnya. Apapun bahkan membela kesalahan akan tetap ia lakukan agar orang yang membuat anaknya koma di rumah sakit mendapat balasan yang lebih.

Alda permatanya. Anak yang dia nanti dan dia jaga, Ibu mana yang rela melihat anaknya terbaring lemah di brankar sementara pelakunya bisa tertawa bebas tanpa rasa bersalah.

Tasya tidak akan pernah merasa bersalah. Karena sampai kapanpun bukan dia pelakunya. Bukan dia penjahat di sini. Alda licik, merasa paling tersakiti padahal dirinya sendiri pelaku utama.

"Tante tau kebenarannya? Anak bejat Tante yang bersalah bukan saya!" bela Tasya keras. Gadis itu menggenggam jari telunjuk wanita di depannya, menghempasnya pelan. "Jari Tante ganggu pandangan saya."

"Nggak tau etika! Sudah bersalah masih mau menghina di depan umum!" Wanita itu tersenyum miring, "Kamu justru memperlihatkan topeng kamu di depan banyak orang, Nak."

Tasya mengernyitkan alisnya bingung, menatap wanita yang kini tertawa terbahak tak kenal henti. Apanya yang salah?

"Lihat kan, begitu mudah dia menghina anak saya. Saya semakin yakin dia pelaku sebenarnya, dengan atau tanpa bukti cctv. Lidahnya sangat lincah, apalagi tindakannya." Kepala sekolah menyela, mengangguk pelan menyakinkan semua staff sekolah yang turut hadir dalam ruangan pribadinya.

Guru-guru saling lirik mata, mengangguk dengan mulut bergerak bising. Seakan terpengaruh dengan ucapan kepala sekolah.

"Tidak, saya–"

"Belum puas membela diri, Nak?" Wanita itu semakin menunjukan senyum liciknya.

"Tunggu beberapa menit, saya sudah menghubungi pemilik sekolah untuk hadir. Siap-siap beasiswa kamu taruhannya." Wanita itu tersenyum puas, penuh kemenangan. Tak peduli dengan mimik wajah Tasya yang berubah drastis. Mata gadis itu bergetar pelan, jika dihina secara global masih bisa dia terima, tapi ini menyangkut masa depannya. Ia takut.

ANASTASYA {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang