Bagian 17

19 1 0
                                    

Anas menurunkan standar motor. Pemuda itu melepas helmnya, tatapan tajam yang menghunus setiap sisi sekolah yang baru saja dia masuki, tanpa halangan.

Bangunan bertingkat 4 yang cukup mewah bagi sekolah swasta. Dibagian depan dekat dengan gerbang, berdiri 2 pohon ek yang saling berhadapan, hanya terpisah jalan kasar untuk akses masuk sekolah ini.

Anas mengamati sekitar yang lumayan sepi, tetapi ada satu dua orang berseliweran. Mereka tetap fokus pada urusan masing-masing, tak terganggu dengan penampilan misterius Anas.

Pemuda itu masih menggunakan celana olahraga SMA Bratandana dengan hoodie hitam senada dengan celana, wajahnya tertutup masker hitam.

Anas berjalan pelan menuju ruangan yang sekiranya sama dengan tempat yang tertera di surat panggilan. Tatapan Anas menghunus pada tangga menuju lantai 4. Pemuda itu menaiki tangga tersebut.

Hanya untuk mengamati sekitar, dan apa yang dirinya lihat sekarang persis seperti apa yang ada di layar ponselnya saat itu.

"Ruangan komputer tapi nggak ada cctv." Anas bergumam pelan.

Saat berada di lantai 3, tanpa sengaja Anas berpapasan dengan Arga yang sedang memegang sebuah cup berisi es.

"Loh, lo ngapain di sini?" Arga heran, bertanya tentang kehadiran Anas yang tak terduga.

"Lo tau ruangan kepala sekolah kan? Anterin gue." Tanpa menunggu Arga menjawab, pemuda itu sudah menarik kerah belakang Arga untuk ia seret.

"Heh apaan main tarik-tarik aja! Ogah gue, nggak lagi-lagi deh ikut omongan lo!" dumel Arga. Pemuda itu mendengus malas, sia-sia percaya dengan semua omong kosong yang terucap dari mulut Anas.

"Oke. Nanti malam, lapangan Senopati."

Arga tersenyum senang, merangkul Anas yang jauh lebih tinggi darinya. "Ayo gue anter, keliling sekolah pun gue anter. Mau school tour sekalian nggak?"

Anas menghela napas pelan.

Saat sampai di ruang kepala sekolah, pandangan mereka tertutupi oleh puluhan siswa yang menghalangi jalan. Mereka berebut, saling mendorong agar dapat mengintip.

"Geser woi gue mau lihat!"

"Ada pemilik sekolah!"

"Gue mau lihat Tasya, bisa minggir nggak sih!"

Arga menepuk pundak Anas prihatin, pemuda itu tersenyum getir sebelum meninggalkan Anas sendirian. "Gue nggak mampu lagi."

Anas menatap pemandangan di depannya ngeri, mereka saling dorong tak mempedulikan apa akibat dari perbuatan itu. Lihatlah siswi yang terduduk dengan rok yang terinjak di pojokan, tidak bisa terlepas.

"Minggir!" Seruan Anas mampu membuat mereka membelah. Membalikan badan untuk melihat siapa gerangan yang menegur mereka.

"Siapa lo?"

"Gue mau masuk!" Anas berucap datar, tak mengindahkan tatapan kagum yang sebagian orang layangkan untuknya.

"Lo siapa?" Pertanyaan ulang yang ditanyakan oleh satu orang yang sama.

"Minggir!"

"Ogah, sebelum kita tau lo siapa!"

Anas menggeram jengkel, apa gunanya juga mereka tahu siapa dirinya.

Anas menerobos masuk, mendorong siapapun yang menghalangi jalannya, mendobrak pintu itu hingga terbuka. Suara yang cukup nyaring mampu membuat orang di dalam terkejut.

"Gue bilang minggir An****!" bentak Anas. Pemuda itu menghempas seorang gadis yang memegang tangannya, mencegah Anas agar tidak masuk.

"Nggak boleh masuk selain orang yang bersangkutan!" Gadis itu masih membela diri, mencengkram lengan Anas menggoda. Tatapan mata itu tidak dapat menipu Anas. Tapi Anas tidak peduli hal itu.

ANASTASYA {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang