Bagian 26

34 2 0
                                    

"Kenapa kalian datang kesini?" Anas mengeluarkan tatapan tajamnya, mengunus pada mereka yang justru mendengus kesal.

"Lo kenapa nggak ngajak-ngajak, ha?!" Awan melotot tajam, menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

"Tau tuh. Bukannya dikabarin ke yang lain, malah main sembunyi-sembunyi!" sahut Dian, sedikit menyentak.

"Harusnya kita yang marah sama lo, Cornelord bukan cuman lo doang, kita semua terlibat, kita semua berdiri di atas nama Cornelord. Lain kali jangan egois!" Hendra menatap datar Anas yang terdiam. Pemuda itu sebenarnya sedikit jengkel, merasa tak dihargai sebagai anggota Cornelord.

Sementara wakil ketua hanya terdiam, sedikit aneh dengan sikap Anas, tidak seperti biasanya.

"Oke gue salah." Anas mengangguk sekali, menatap Abigail lama. Pemuda itu berbalik hendak menaiki motor untuk pulang.

"Mampir di rumah Tasya dulu deh Nas, kayaknya cewek lo tadi panik banget liat lo keluar rumah dia buru-buru. Mana sambil marah lagi," ucap Awan memberikan saran.

"Rumah Tasya?"

"Iya lo tadi dari sana, kan? Soalnya kita tahu soal tawuran ini dari Tasya."

Anas terdiam sejenak menatap Dian yang baru saja berbicara. Jadi mereka menganggap seperti itu, bagus deh, dia jadi tidak perlu pusing jika mereka curiga dengan hubungannya dan Tasya.

Pemuda itu melirik jam tangannya, pukul 23.00, "Gue kayaknya nggak ke sana, nanti gue telpon aja. Gue mau balik."

Awan, Dian dan Hendra mengangguk serempak.

"Kita pisah sini aja ya?" tawar Hendra diangguki oleh mereka semua.

Dian dan Awan sudah berlalu, meninggalkan Hendra, Abigail dan Anas yang masih berdiam diri di motor.

"Gue duluan." Hendra menepuk pundak Anas dan Abigail sebelum pemuda itu berlalu menyusul Awan dan Dian, meninggalkan Abigail dan Anas sendirian.

Anas mengeluarkan ponselnya dari saku, mengotak-atiknya sebentar, menyerahkan kepada Abigail agar pemuda itu melihat isi chatnya dengan salah satu anggota Gurgle.

Abigail mengernyit saat membacanya. "Sial dari mana mereka tau?"

Anas mengedikkan bahunya, "Makanya gue ragu ajak yang lain."

"Gue akan omongin ini sama Bang Sam." Abigail mengembalikan ponsel Anas. "Berita ini harus musnah. Jangan sampai citra Cornelord buruk cuman karena berita jadul itu." Tanpa menunggu balasan dari Anas, Abigail sudah berlalu pergi.

Anas meremat ponselnya kuat, menatap nyalang motor temannya yang meninggalkan dirinya sendirian. Bukan karena ditinggal, hanya saja ucapan pemuda itu tidak bisa disetujui. Karena bagaimanapun keadilan wajib ditegakkan.

Sedetik kemudian pemuda itu tersadar satu hal. "Gue harus pulang."

•••

Anas menatap ponselnya cemas, dalam keadaan terkunci di luar. Dia menunggu Tasya mengangkat panggilan telponnya, selain untuk meminta kunci, pemuda itu juga sedikit takut sesuatu buruk terjadi pada Tasya, apalagi ini hampir tengah malam.

"Lo kemana sih?" Anas mendengus. Memasukan ponselnya dan berlalu menyusuri jalan, berharap menemukan Tasya.

Gadis itu pasti tidak tahu apapun, kenapa juga nekat keluar rumah. Dia mengkhawatirkan orang yang salah. Anas akan lebih terbantu jika Tasya diam di rumah. Jika seperti ini, siapa yang terbebani?

•••

"Lo kemana aja?" Anas menaruh helmnya sedikit kasar, menatap datar pada Tasya yang duduk lesehan di atas rumput depan rumah mereka.

ANASTASYA {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang