Bagian 60

20 1 0
                                    

Anas tersenyum lega saat keluar dari kantor polisi. Pemuda itu merenggangkan otot tubuhnya yang terasa kaku, duduk terlalu lama ternyata tidak mengenakkan.

Akhirnya kasus ini berhasil ditangani dengan pihak yang benar-benar berwenang. Dari pihak keluarga Adit juga sudah berjanji jika tidak akan mengajukan studi banding di mata hukum.

Mereka menerima seluruh keputusan hakim dengan senang hati. Bahkan Samuel selaku Abang Adit rela menjadi saksi dengan segala kebenaran.

Tidak lagi membela perbuatan adiknya. Samuel dulu berpikir jika tidak ada yang mempermasalahkan ini semua, makanya dia tetap tutup mulut seolah kejadian itu tidak pernah terjadi.

Namun, berkat pemberitahuan dari Anas, Abigail, Hendra, Awan dan Dian, membuat Samuel sadar bahwa adiknya keterlaluan, rela menelantarkan tanggung jawabnya dan mematahkan kepercayaan kepada adiknya sendiri.

Samuel juga sepakat untuk membubarkan Cornelord dengan alasan jika banyak kenangan kelam yang berada di sana. Bukan geng membangun dan menginspirasi yang pernah Samuel harapkan. Banyak kebencian dan dendam yang tersalur melalui geng itu, maka lebih baik bubar saja.

Abigail, Hendra, Awan dan Dian tersenyum senang mendengarnya. Itu berarti mereka sudah tidak terikat perjanjian konyol lagi. Tidak akan ada yang berani memerintah mereka dengan ancaman yang tidak bermutu.

Hanya satu orang yang menentang keras kasus tersebut benar terjadi. Feral. Gadis itu mengamuk di kantor polisi. Mengucapkan jika apa yang dikatakan Anas salah besar. Namun bukti atas pengakuan Adit sudah benar-benar di tangan polisi.

Maka gadis itu hanya bisa berlari menangis meninggalkan kantor polisi.

"Akhirnya bebas!" seru Awan girang, pemuda itu merangkul Dian dengan bahagia.

"Gue seneng banget gila!" Dian ikut berseru.

"Gue harus bilang makasih sama temen lo nggak sih, Nas?"

"Iya sini, bilang makasih!" Sahutan dari depan membuat Dian terdiam kaku. Pemuda itu cengengesan. Menatap Ella bergurau.

"Makasih, Neng, Mas."

Hendra menggeplak kepala Dian dengan kekehannya. "Apaan Neng, Mas? Kenalan sana."

Dian menggaruk kepalanya yang tiba-tiba gatal. Menatap Anas canggung. "Nas?"

"Kenalan aja sendiri!"

Dian mendengus malas. Dalam hati memaki Anas yang sudah kembali ke setelan pabrik. Yang membujuk dengan lembut kemarin agaknya alter ego Anas.

"Nama gue Amirati."

"Gabritta."

"Ell, namanya Ella. Nama aslinya Auriella."

"Jadi panggilnya apa?" tanya Dian heran.

"Sayang juga boleh," genit Ella. Mengedipkan satu matanya ke arah Dian. Anas bergidik ngeri, sudah dibilang Anas takut dengan gadis agresif.

"Duh-duh, jangan deh, nanti pawangnya marah." Awan menengahi dengan ringisan pelan.

Auriella mendengus malas. "Payah udah punya pawang duluan."

"Emang niat lo berharap temen Natan kepincut sama lo gitu?" tanya Amirati, menepuk pundak Auriella sedikit keras.

"Ya siapa tau, kan."

"Kasian. Mereka udah berpawang semua." Ucapan Anas membuat Auriella tambah cemberut.

"Eh, Nas. Kasian Abigail kesindir. Dia kan masih jones!" gurau Hendra

Abigail menatap Hendra datar, siap membogem, jika Hendra tidak berhenti tertawa.

"Apaan sama dia. Sok cool begitu, sama gue yang cerewet gini. Yang ada gue kena mental terus sama omongannya." Abigail hanya mengelus dadanya mencoba sabar. Ingat jika Ella masih perempuan. Perempuan jadi-jadian. Aslinya pasti cowok itu.

ANASTASYA {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang