Bagian 55

43 1 0
                                        

Anas menatap rumahnya yang kosong. Pemuda itu jarang merasakan suasana sepi sepulang sekolah. Pasti ada Tasya yang sedang memasak atau menonton televisi. Namun, gadis itu sekarang tidak menampakkan dirinya.

Seharusnya Tasya sudah pulang, apalagi Anas tadi mampir terlebih dahulu di rumah Galaksi.

Anas membuka ponselnya, berniat menghubungi Tasya. Ceklis satu.

Anas menghela napas panjang. Menjatuhkan tubuhnya di sofa. Mengistirahatkan badannya. Baru menutup mata, pemuda itu segera bangkit saat mengingat sesuatu.

"Fero!"

Anas buru-buru naik ke atas. Menuju kamarnya untuk membersihkan diri. Dipikir-pikir ini pertama kali Anas menginjakkan kaki di rumah ini setelah sekitar semingguan lebih.

Gabritta dan Grace memintanya untuk tinggal bersama di rumah Galaksi. Anas sudah berusaha mengelak, tetapi, melawan ibu-ibu seperti Grace sulit dibantah. Maka dengan setengah hati Anas mengangguk mengikut.

Hendak memberitahu Grace jika dia sudah menikah rasanya sulit. Anas tidak bisa membayangkan seperti apa reaksi Grace jika tahu salah satu anaknya sudah menikah bahkan tidak mengabari.

Dengan meminta saran dari teman-temannya, akhirnya Anas merahasiakan ini dari Grace.

•••

"Bantuin gue cari Fero!"

Galaksi menatap Anas aneh, pemuda itu berusaha menahan tawanya saat melihat penampilan Anas.

"BWAHAHAHAHA. Nas? Lo serius pake ginian di jalan?" Nolan tertawa ngakak. Pemuda itu memegang perutnya.

"Wih lucunya." Ella gemas sendiri melihat sandal bulu yang digunakan Anas.

Anas menunduk, melihat arah pandangan mereka. Sedetik setelahnya melotot saat sadar dia salah memakai alas kaki.

Pemuda itu memakai sandal apapun yang berada di rumah. Tidak tahu jika dirinya memakai sandal kelinci dengan bulu tebalnya yang berwarna pink.

Anas terlalu panik tadi, sampai-sampai tidak sadar. Lagian kenapa Tasya menyimpan sandal seperti ini dengan ukuran sandalnya?!

Anas melempar sandalnya, memilih tanpa alas kaki daripada menggunakan itu.

"Bantuin gue!"

"Soal Fero? Belum habis juga masalah lo sama bocah ingusan itu?" Gabritta keluar dari dapur, membawa segelas jus tomat dengan tatapan datar. Gadis itu duduk di sofa dengan angkuh.

"Bri," panggil Anas, dengan nada melirih.

"Nas bisa nggak sekali aja, jadi Anas yang dulu. Yang nggak peduli sama orang lain, Fero bukan bagian dari misi kita!"

Mereka terdiam sejenak, seakan membenarkan ucapan Britta.

"Lo tahu? Udah lebih dari 7 tahun setelah Bang Morgan meninggal. 2 tahun lalu, kita bangun Morgan geng buat balas dendam atas kematian Bang Morgan. 1 tahun lalu lo pergi buat turun tangan langsung. Dan sekarang? Udah beberapa minggu kita semua kumpul lagi, lo masih ngestuck tanpa peningkatan?"

"Misi kita bangun Morgan Geng, cuman satu. Balas dendam atas kematian Bang Morgan. Dan Adit target kita. Setelah beberapa tahun, gue harap ini cepet selesai biar Bang Morgan juga tenang."

Mereka semakin terdiam, hanyut dalam ucapan Gabritta yang memang benar adanya. Mereka justru sekarang menganggap jika Anas salah satu penghambat mereka menyelesaikan ini semua.

"Fero adiknya Bang Morgan!"

"Emang!" tekan Britta. Gadis itu menaruh gelasnya di meja kaca sedikit keras. "Terus hubungannya apa?"

Anas menggeleng tak percaya, pemuda itu terkekeh miris.

Ini ternyata jawaban kebingungannya. Kenapa Gabritta kemarin terlihat lebih banyak diam. Gadis itu masih tidak bisa menerima semuanya.

"Lo bilang di UKS, setuju, Bri."

Gabritta mengangguk setuju. "Iya. Gue setuju setelah selesai misi ini, lo bebas sama istri lo. Bukan buat nolongin bocah itu."

Anas terdiam. Dia yang salah. Dia yang terlalu menganggap mereka sama. Anas yang merasa mereka juga setuju dengan pendapatnya setelah damai di UKS kala itu.

Gabritta memang gadis yang keras. Anas paham betul itu. Sejak dulu, saat mereka mulai berteman. Anas tahu jika Gabritta memang memiliki watak yang keras dan sedikit egois.

Gadis itu tidak mudah goyah, tekadnya tetap pada pendirian awalnya. Tidak bisa diubah dengan mudah. Mau sebanyak apapun Anas membujuk, jika orangnya sendiri sudah berpegang teguh pada ucapannya, apa yang bisa Anas lakukan.

Pemuda itu berlalu. Meninggalkan rumah Galaksi.

"ANAS BALIK NGGAK LO?!" Ella berteriak kencang.

"Udah, Ell. Biarin aja dia cari sendiri. Biar ngerasain, kalo dia juga nggak bisa apa-apa tanpa kita!" bantah Gabritta.

Ella berdecak. "Gue bukan mau tahan dia. Gue cuman mau ingetin buat pake sandal. Malu lah an**r kalo nggak pake sandal gitu di jalan raya. Dikira gila!"

Gabritta tertawa puas.

•••

Anas mencoba beberapa kali untuk menghubungi Aril dan Giral.

Sudah 3 kali pemuda itu menghubungi Aril dan hasilnya tetap nihil. Aril tidak mengangkat panggilannya.

Sedangkan Giral baru mengangkatnya setelah panggilan ketiga.

"Gue mau ketemu sama lo, ajak Aril juga."

Anas terdiam. Mendengar jawaban dari seberang telpon. Pemuda itu menjawab jika Aril sedang ada acara keluarga, tidak bisa saat ini.

"Lo bisa ke sini sekarang?"

Anas tersenyum puas saat mendengar jawaban adik kelasnya. "Gue tunggu di depan warung tempat kerja Fero."

Pemuda itu merubah raut wajahnya kembali saat mendengar respon Giral.

"Aril bisanya sore nanti, Bang. Bang Anas mau bahas Fero? Gimana kalo sore aja ketemuannya, Bang? Biar Aril bisa ikut."

Anas hendak menolak, namun sepertinya tidak adil juga jika Aril tidak ikut serta. Bagaimanapun Aril tetap teman Fero.

Anas hanya membalas singkat sebelum mematikan panggilan. Pemuda itu menghela napas. Mau pulang ke rumah rasanya juga percuma jika Tasya tidak di rumah. Dirinya malas jika harus kembali lagi ke rumah Galaksi. Lebih tepatnya malas kembali dipojokkan.

Anas juga tidak mengajukan diri menjadi ketua di Morgan Geng. Mereka yang memilihnya sendiri. Pilihan mereka yang membuat Anas bersedia. Mereka memilih yang berarti percaya penuh kepada Anas.

Jika akhirnya mereka memilih berjalan di jalurnya masing-masing, kenapa dulu memilih Anas?

Jika sekarang posisi Anas yang disalahkan oleh mereka dan dipojokkan seakan tidak memiliki harga diri, lebih baik Anas mundur. Anas tidak akan pernah menutup dendamnya kepada Adit. Anas hanya berpikir jika Fero wajib mendapat keadilan. Pemuda itu berhak mendapat pembelan dari mereka. Morgan Geng juga akan membangun misi yang bersangkutan dengan Bang Morgan. Bukan hanya semata tentang dendam.

Fero pasti sudah mengalami betapa kejamnya dunia. Pemuda itu sudah merasakan kesulitan bekerja dengan status pelajar SMA. Hanya untuk menghidupi dirinya sendiri. Fero sudah cukup bertempur dengan banyak orang yang berekonomi tinggi. Direndahkan karena harta, Anas yang mendengarnya saja tidak terima.

Bolehkah Anas anggap dirinya sendiri jahat? Anas dan teman-temannya merebut perhatian seorang Kakak dari Fero. Harusnya Fero yang mendapat perhatian Morgan, bukan mereka, sudah jelas mereka hanya orang asing. Fero yang berhak menempati posisi mereka.

Namun, karena ada beberapa masalah antara Ayah dan Ibu Morgan, membuat dua saudara itu dipisahkan.

ANASTASYA {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang