Bagian 14

45 2 0
                                    

Tasya sadar bahwa takdir memang mengharuskannya untuk mandiri, hidup tanpa ditemani oleh seorang pun. Perlahan waktu merenggut satu persatu orang yang berada di sisinya. Meninggalkan Tasya yang tenggelam dalam harapannya sendiri.

Mungkin memang benar, kita harus mempercayai diri kita sendiri. Karena hanya diri kita yang selalu ada setiap saat.

"Arga, mau ke kantin?" tanya Tasya, mencegat langkah Arga yang hendak menemui temannya.

"Eh Sya, ada apa?"

"Mau ke kantin kan? Aku bareng ya?"

Arga menatap wajah Tasya tak enak, "Sorry tap–"

Tasya tersenyum manis. Gadis itu mengangguk paham, melangkah menjauh dari hadapan Arga.

Arga menghela napas kasar, meraup wajahnya dengan tangan kanan.

"Wih lama nggak kalihatan kemana aja lo?"

Sebuah suara yang dia kenali membuat pemuda itu membalikan badan. Menatap Alda dan Imel yang kini sudah menarik rambut Tasya kasar.

Arga diam di tempat selama beberapa detik, sebelum mengeluarkan hp untuk menghubungi Anas.

Anas

Cewe lo dibully
Sama alda

Awasi

Lo blng g blh dkt tasya

Ikuti Arga!

Arga berdecak keras, menuntut langkahnya mengikuti Alda.

Tasya memejamkan mata, menghalau rasa sakit yang mendera kepalanya. Alda menariknya pada toilet di lantai empat, toilet terbengkalai. Semua ruangan yang berada di lantai empat jarang digunakan, puluhan komputer rusak yang memenuhi ruangan gelap.

Angin semilir terasa kencang dari atas. Pintu berdebu, lantai yang membekas alas sepatu mereka bertiga. Kilau keramik itu tertutup bedu tebal, jarang dibersihkan.

Imel menaruh seember air kotor di sebelah kaki Alda.

"Let's play game with me!"

Tasya hanya terdiam melihat seember air kotor menyiram tubuhnya. Air menetes dari rambut hitam legam, bau sabun dan busa menempel di tubuh Tasya. Poninya turun, melemas, menurun menutupi matanya.

Alda mengeluarkan sesuatu dalam sakunya, silet kecil.

Tasya membulatkan matanya. "Alda kamu nggak berniat bunuh aku kan?"

"Why not? Di sini nggak ada cctv, gue bisa manipulasi semuanya dengan uang." Alda tersenyum miring. Menarik lengan Tasya, mengarahkan silet tajamnya ke arah nadi tangan Tasya.

"Sadar Alda!" Tasya menyentak. Melepaskan tangan dari genggaman Alda.

"Lo tau kenapa gue berbuat gini?" Alda bersedekap. "Kenapa lo harus hadir, kenapa mereka semua selalu bandingin gue sama lo? Lo miskin, lo anak panti asuhan, asal usul lo nggak jelas, nggak ada yang mau deket sama lo, nasib lo selalu sial, pembawa bencana, lo aib bagi setiap orang yang dekat sama lo!"

"Beda sama gue, gue punya segalanya, keluarga harmonis, gue kaya, gue punya pangkat, keluarga gue terpandang, punya jabatan tinggi. Kenapa gue harus di bandingin sama hama buruk rupa kayak lo?!"

Tasya semakin menunduk, sulit menerima fakta yang diucapkan Alda, meskipun itu semua benar. Tapi Tasya tidak terima hidupnya semenyedihkan itu.

"Karena kamu bodoh! Kamu terlena sama semua yang kamu punya saat ini. Aku pintar, meskipun aku miskin. Tapi buat apa kaya tapi bodoh! Pantes banyak guru yang ngomongin kamu di belakang, selain bodoh kamu juga nggak berpendidikan!"

ANASTASYA {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang