Bagian 59

22 1 0
                                    

"Mau makan?"

"Gue bisa suapin."

"Gila lo!"

"Apa?"

"Tangan Anas yang sakit sebelah kiri, dia bisa makan pake tangan kanan."

Hendra menggeser posisi Dian dan Awan yang sedari tadi berdebat tidak ada hentinya.

Sementara Abigail, bermain ponselnya dengan sesekali berdecak kesal saat tim andalannya kecolongan poin.

"Kalian diem!"

Mereka menurut. Menutup mulut rapat tanpa suara. Dua pemuda itu berakhir di kursi yang sama dengan Abigail. Menatap Hendra yang menyodorkan piring makanan pasien untuk Anas.

Anas menggeleng pelan, menelusuri ruangan dengan manik sayunya. "Tasya nggak bisa ke sini, ya?"

Lenggang sejenak. Mereka semua terdiam mendengar pertanyaan Anas. Saling lirik menyuruh menjawab. Bahkan Abigail meletakkan ponselnya, ikut terdiam, enggan menjawab.

"Sibuk mungkin, kita nggak tau." Hendra menarik kursi untuk diduduki. Kembali menyodorkan makanannya. "Lo harus makan. Biar bisa bantuin kita buat nyelamatin Adit. Impas," ucap Hendra tersenyum miring.

Anas balas tersenyum tipis. Menerima mangkok itu dengan tangan kanan, meletakkannya di atas paha, mulai menyendok perlahan dengan tangan kanannya. Sementara tangan kiri pemuda itu masih terbalut perban, walaupun dokter sudah berkata jika itu tidak bertahan lama, dikarenakan luka yang didapat tidak terlalu dalam.

•••

Anas menggerakkan tangannya dengan bebas, tersenyum, berbalik untuk sekedar menatap wajah Hendra yang terlihat datar.

"Makasih."

"Bilang nanti setelah lo bisa lepasin Adit."

Anas mengangguk pelan. Setelah berdiam diri di rumah sakit cukup lama, pemuda itu kini bisa bebas keluar. Anas tidak mau memikirkan kenapa sahabatnya tidak pernah datang ke rumah sakit.

Setidaknya masih ada yang mengingatnya saja sudah sangat dia syukuri.

Tugasnya belum selesai, setelah membawa Adit untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, barulah tujuan Anas benar-benar selesai.

Pemuda itu menatap Hendra, Abigail, Awan dan Dian dengan serius.

"Sebelum itu, ada yang mau gue tanyain, Fero sama kalian?"

Abigail terkekeh pelan, "Seperti biasa. Lo akan tau lebih cepat dari perkiraan kita."

"Lo tenang aja, Fero lebih aman sama kita daripada Adit."

Ucapan Abigail dan Awan membuat Anas menghela napas lega. Pemuda itu mengangguk beberapa kali.

"Kita jemput Adit sekarang!" titah Anas.

"Lo udah fit beneran, Nas?" Dian bertanya, agak cemas. Anas baru boleh keluar dari rumah sakit, dan dia tidak percaya jika melakukan itu tanpa perkelahian. Ditakutkan tangan dan kepala Anas masih memerlukan tahap pemulihan.

"Gue nggak yakin Adit masih hidup kalo kita tunda lebih lama lagi."

•••

Anas sedikit mengintip untuk memastikan jika tempat ini adalah tempat yang sama yang digunakan oleh sahabatnya.

"Langsung masuk aja apa gimana?" tanya Dian.

Anas mengangguk pelan, tak guna juga main sembunyi-sembunyi, sedangkan niat Anas ingin membicarakan ini baik-baik.

Niat Anas tidak ingin membela salah satu pihak. Yang terpenting saat ini adalah Adit yang harus menerima konsekuensi atas perbuatannya. Dengan ranah hukum, bukan dengan main hakim sendiri.

ANASTASYA {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang