Bagian 35

55 1 0
                                    

Tasya mendengus pelan. Bibir gadis itu bergumam lirih beberapa kali. Menatap sengit kehadiran dua orang di depannya.

Niat hati ingin merilekskan perasaannya di depan minimarket, namun malah bertemu dengan mereka.

Awalnya hanya seorang wanita yang menghampirinya, tentu Tasya mengutarakan pertanyaan, sebelum dia mendapat jawabannya sendiri setelah melihat seorang pria paruh baya yang menghampiri mereka.

Mereka orangtua Anas.

"Ada apa?"

Brenda tersenyum sinis, bersedekap dada dan berdiri menjulang di depan Tasya. Sungguh tidak sopan, padahal jika mau mengakui, Brenda tetaplah ibu mertua Tasya.

"Suruh Anas pulang ke rumahnya. Jauhi Anas!"

Ucapan yang Brenda keluarkan membuat Tasya terdiam. Mereka pikir, Anas alat yang dapat mereka gunakan setiap waktu.

"Tante bisa bilang sendiri dengan Anas. Saya tidak berhak mencampuri urusan kalian."

Brenda menggeram marah. "Kamu tidak lebih berharga daripada Starla di hidup Anas. Jadi untuk apa kamu mempertahankan hubungan kalian?"

"Kamu bisa berpisah dengan Anas, Nak. Saya yang akan menjamin masa depan kamu lebih baik. Kamu masih remaja, masih panjang pendidikan yang harus kamu tempuh. Saya akan memberikan pendidikan yang kamu inginkan." Fajar turut membujuk.

Baginya yang memiliki harta berlimpah membebani diri sendiri dengan memberikan pendidikan orang asing bukan hal buruk. Toh juga dirinya mendapat timbal balik yang menguntungkan.

"Jangan habiskan masa remaja kamu dengan hal tidak berguna. Saya tahu seperti apa Anas. Dia berandal. Kamu hanya akan makan hati jika hidup dengannya. Saya juga tahu, kamu tidak pantas mendapat lelaki seperti Anas. Ada yang lebih baik menunggu kamu, menyambut kamu yang sudah memiliki gelar. Raih cita-cita kamu, banggakan Nenek kamu dengan gelar bukan dengan cara seperti ini." Brenda terus memprovokasi, memberikan Tasya pilihan yang membingungkan.

Wanita itu tahu seperti apa kehidupan gadis itu dengan Anas. Bisa dibilang mereka tidak memiliki kesamaan sama sekali. Tidak cocok menurut Brenda.

"Jadi lepaskan apa yang membuat kamu sakit hati. Kejar cita-cita kamu, untuk apa remaja seperti kamu menangisi seseorang yang tidak perlu?" tambah Brenda.

"Benar, Nak. Jangan biarkan orang lain menyakiti kamu, Nenek kamu yang mengajari kamu bangkit dan kamu jatuh hanya karena laki-laki? Jangan turunkan harga diri kamu." Fajar menyela, turut membujuk Tasya.

Tasya tersenyum pelan, gadis itu mengangguk. "Tante dan Om benar. Untuk apa saya menangisi orang lain, Nenek saya yang menghidupi saya."

Brenda dan Fajar saling tatap. Mereka berdua tersenyum pelan.

"Tapi Tan, Om. Dengan ikatan pernikahan apakah orang itu juga dinyatakan tidak memiliki masa depan yang cerah? Kenapa kalian hanya menatap sebelah mata. Saya bisa capai pendidikan yang saya inginkan. Meskipun saya sudah memiliki suami."

"Tante dan Om juga benar. Untuk apa saya menangis orang yang tidak ikut andil dalam tumbuh kembang saya, mereka tidak mengajari saya berjalan. Tapi saya berhak memilih siapa orang yang dapat menyakiti saya dan siapa yang tidak berhak menyakiti saya. Itu harga diri saya!"

Tasya berdiri, gadis itu menatap pasangan suami istri di depannya dengan lamat. "Apa dengan saya cerai kehidupan saya lebih baik kedepannya? Apa dengan saya mengikuti ucapan dan janji pendidikan dari kalian, kehidupan saya akan bahagia? Apa kebahagian saya sebatas pendidikan tinggi dan bergelar? Apa harga diri saya hanya sebatas janji manis dari kalian?"

Tasya menggeleng lirih, masih tetap tersenyum. "Tidak, Tan, Om. Kebahagiaan saya adalah melihat orang yang saya sayang bahagia. Salah satunya Anas. Anas suami saya, dia berhak menyakiti saya, dia berhak membentak saya, dia berhak memukul saya, dia berhak melakukan apapun pada saya. Karena apa? Karena saya hanya mau menundukkan harga diri saya pada suami saya."

Tasya mengangguk pelan, "Permisi, Tante, Om." Gadis itu berlalu meninggalkan pasangan itu.

Brenda mengepalkan tangannya geram. "Perempuan bodoh!"

Fajar terkekeh pelan, "Bukan berarti kita akan berhenti, kan, sayang?"

Brenda menatap Fajar tak paham.

"Jika dia mau menurunkan harga dirinya hanya untuk Anas, kenapa tidak kita gunakan kesempatan itu?"

•••

Anas menatap Tasya yang memakai pakaian santai masuk dari luar rumah. Pemuda itu menghampiri Tasya dengan alis yang mengkerut.

"Gue kira lo habis belanja. Lo belum masak?"

Tasya menghentikan langkahnya, menggeleng pelan sebelum berlalu.

"Gue laper."

Ucapan Anas membuat Tasya mengangguk pelan dan tetap berlalu menuju kamarnya.

Anas mendengus, pemuda itu menatap punggung Tasya kesal.

•••

Suara ketukan pintu membuat Anas mengalihkan pandangannya dari laptop. Siapa lagi jika bukan Tasya.

Tapi biasanya gadis itu akan langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Tumben.

"Apa?" tanya Anas setelah berhadapan langsung dengan Tasya.

"Makanannya udah jadi." Selesai dengan urusannya, Tasya memilih kembali mengurung diri di kamarnya. Tidak mengindahkan panggilan Anas.

Anas terdiam kaku di depan pintu. Siapa bilang dia tidak peka, dia sadar. Sangat sadar, perilaku Tasya berbeda setelah pertengkaran kecil di sekolah saat itu. Anas mulai menyesali ucapannya sekarang.

Pemuda itu menghela napas, memilih kembali ke kamar daripada makan seorang diri. Walaupun biasanya saat di rumah Kakek dulu, dia juga sendirian makan di atas alas karpet, namun setelah kehadiran gadis itu semua seolah berbeda. Anas tidak mau mengulangi momen menyedihkan itu lagi.

Momen di mana dia kembali membutuhkan sosok Nenek di sisinya.

•••

"Abang!"

"Anas jangan mendekat!"

Dor

"ABANG!"

"Anas harus selalu tersenyum!"

"Anas ikhlas ya?"

"Abang Anas, Kek."

Anas mengatur napasnya yang tidak beraturan. Pemuda itu mengucek mata yang sedikit berair. Bangkit berdiri menuju kamar mandi.

Anas menatap pantulan dirinya di depan cermin. Lihat, betapa menyedihkannya dirinya. Pemuda itu terkekeh pelan.

Disaat dia berharap ini kesempatan terbaik untuk kehidupan yang bahagia, justru takdir tidak membiarkannya bahagia secepat itu, apa penderitaannya kurang?

Apa selama ini penderitaannya kurang meyakinkan hingga bumi pun tak menginginkan Anas tertawa lebar hingga kematiannya.

Seharusnya kata 'pembawa sial' yang Anas ucapkan kepada Tasya, tertuju untuknya. Kehadirannya yang membawa sial.

Untuk keluarga Arendra. Brenda dan Fajar yang tidak bisa mendapat keturunan perempuan karena kehadirannya.

Kakek yang kehilangan Nenek karena kehadirannya.

Sahabatnya yang kehilangan peran Abang karena kehadirannya.

Tasya yang akan menderita karena hidup bersamanya.

Ya, Anas memang sesial itu hingga selalu ada kehilangan di mana dia berada.

Sekarang pemuda itu tidak tahu lagi, bagaimana dirinya harus berbuat. Bagaimana dirinya berperilaku. Bagaimana sikap yang seharusnya dia ambil agar dapat menebus semua kesalahannya.

•••

Anas mengangkat ponselnya yang berdering, panggilan suara dari Hendra.

Anas mengernyitkan alisnya saat mendengar suara gaduh di seberang. Pemuda itu membulatkan matanya, mendengar suara Hendra yang bersahutan dengan suara pukulan. Suara teriakan terdengar jelas dipendengaran Anas, suara seseorang yang dia kenali.

"Gue ke sana sekarang." Anas mematikan sambungannya sepihak.

•••

ANASTASYA {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang