Bagian 58

15 1 0
                                    

Heh kamu yang tetep stay baca sampe sini🫵😭

Makasihh banyakk lop❤️‍🔥❤️‍🔥

Have fun and here we go!

•••

Anas mengatur napasnya yang sedikit memburu karena panik. Takut jika temannya benar-benar nekat dan membunuh Adit di tempat. Untungnya dia datang tepat waktu sebelum semua hal yang buruk terjadi.

"Kalian mau bawa Adit ke mana?"

Ella memutar matanya malas, melihat salah satu orang di belakangnya menatap datar. Bagi Ella tatapan itu terasa begitu songong. Dan Auriella sangat membenci orang yang sok cool seperti itu.

"Lo masih bisa nyebut nama dia?" Jendra tertawa miris. "B**** lo Anas! Dia pembunuh Abang lo!"

Anas juga tidak akan bisa lupa hal itu. Namun dengan kekerasan bisa apa. Semua masalah justru semakin rumit.

"Kita bisa buat Adit ngaku, kita rekam dan bawa bukti itu ke polisi. Clear, kan?"

"ENTENG BANGET OMONGAN LO BA******!" Amirati mengamuk, menunjuk-nunjuk Anas dengan telunjuknya. Wajah gadis itu sudah memerah, menandakan emosi. Tangan yang terkepal, dengan otot leher yang menonjol.

Gabritta menghampiri Anas dengan langkah tegasnya. Gadis itu memukuli Anas bertubi-tubi. Tak memberi ampun. Bahkan mereka semua terdiam, tidak berniat memisahkan.

Pukulan demi pukulan Anas terima. Bagaimana bisa dia mengelak, tidak. Anas tidak bisa mengelak atau membalas. Baginya ucapan tadi sudah benar. Jadi apa yang salah?

Pukulan telak Gabritta berikan sebagai pukulan terakhir, dengan menendang atas perut Anas menggunakan lututnya.

Anas berbatuk keras, merasakan jika mulutnya penuh dengan bau amis. Pemuda itu meludah ke samping, melihat air liurnya bercampur dengan cairan warna merah.

"Udah sadar belum? Apa masih kurang?" tanya Britta datar.

Anas hanya diam, masih menikmati rasa sakit di seluruh tubuhnya. Tenaga Gabritta memang bukan main, dan parahnya Anas tidak pernah bisa mengelak dari teman-temannya yang sedang sensitif.

"Oh belum ternyata ya?" Gabritta mengangguk pelan, menghampiri markas dan masuk tanpa permisi atau canggung. Gadis itu kembali dengan tangan yang menentang tiga botol kaca. Tanpa sengaja tadi saat dirinya masuk, dia melihat mereka sedang menikmati minuman dalam botol ini. Dan sekarang dia memerlukan botolnya.

"Bri?" Amirati menatap Gabritta meminta penjelasan. Seakan berharap jika pemikirannya salah.

Suara kaca pecah membuat mereka refleks menutup mata. Melihat langsung bagaimana Gabritta memukul badan Anas dengan satu botol kaca itu.

Anas limbun, tubuhnya terduduk. Meringis pelan saat merasa tangan yang menyangga dan lututnya terkena pecahan kaca.

"Udah sadar? Adit pembunuh abang kesayangan lo!" Gabritta memutar-mutar botol dalam genggamannya. Tak merasa bersalah akibat perbuatannya barusan. Gadis itu mengabaikan tatapan tak menyangka dari orang-orang yang dibawa Anas serta tatapan datar dari temannya. "Belum sadar juga ya?" Gabritta tersenyum miring.

ANASTASYA {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang