Bagian 41

66 2 0
                                    

Anas menikmati segala tatapan yang tertuju padanya. Entah itu tajam, kecewa, shock, dan tatapan datar. Pemuda itu salah fokus pada satu objek yang bersandar di dinding markas, Fero.

Apa memang pemuda itu yang menyebabkan segala tatapan tertuju padanya. Mungkin saja, jika bukan dia siapa lagi orang yang mengetahui rahasianya. Pemuda itu menghela napas. Memang sudah waktunya mereka tau, jika menunggu Anas yang membuka mulut, itu percuma. Anas secupu itu untuk sekedar mengucapkan fakta.

Fakta bahwa dirinya penghianat sesungguhnya.

Tadi siang, Hendra mengabarinya untuk pergi ke markas, dengan alasan ada urusan penting. Namun sampai di tempat, Anas hanya dihadiahi tatapan maut dari mereka semua.

"Bodoh! Bodoh! Bodoh banget lo Awan!" Awan memukul kepalanya keras, sedikit membenturkan pada dinding sebelum hal itu dihentikan oleh Giral. "Bodoh banget lo mau berteman sama orang yang nusuk dari belakang."

"Gue bu—"

"MAU BELA DIRI GIMANA LAGI LO BAN****!" Dian berteriak emosi. Pemuda itu hampir menerjang tubuh Anas yang berdiri di tengah markas.

"PENGHIANAT! SEKALI PENGHIANAT AKAN TETAP PENGHIANAT SELAMANYA!" lanjut Dian nyaring.

Anas menggeleng lirih, ini yang dia takutkan. Melihat tatapan kecewa dari mereka yang sudah baik kepadanya.

Mereka yang mengulurkan tangan saat Anas harus beradaptasi dengan lingkungan baru.

Mereka yang menemaninya setahun ini, mengisi harinya dengan canda dan tawa.

Mereka bahkan mau berteman dengannya secara tulus.

Sedangkan dirinya. Dia mau bergabung dengan mereka saja atas dasar terpaksa.

Dia telah menaruh rasa kecewa paling besar bagi mereka. Panggilan penghianat memang cocok untuknya.

"Hen," panggil Anas pelan. Pemuda itu memutar tubuh menghadap Hendra yang bersedekap dada sembari menyandar di dinding. Menatap kecewa pada Anas, membuang muka saat tatapannya dibalas.

"Gue kecewa sama lo, Nas."

Pemuda itu mengeratkan kepalan tangannya. Anas tau itu. Sangat paham. Tapi mendengar mereka mengucapkan kekecewaan secara langsung seperti ini terlihat menyakitkan.

Mereka sudah mempercayainya. Memberikan jabatan ketua dalam bayangan padanya bahkan mereka sampai mengabaikan keberadaan Adit yang notabenenya ketua asli mereka. Adit juga orang lama yang bersama mereka.

"GUE BENCI SAMA LO ANAS! SELAMANYA GUE AKAN BENCI SAMA LO!" Awan berteriak, berusaha lepas dari cengkraman Giral. "KENAPA? KENAPA LO NGELAKUIN ITU?!"

Anas terdiam, enggan menjawab. Tenggorokannya tiba-tiba kering. Bahkan untuk berucap pun dirinya kesulitan. Tidak ada yang bisa Anas lakukan sekarang selain diam.

"Gue mau nggak percaya sama semua ucapan Fero, karena gue ngira, lo nggak mungkin ngelakuin itu semua. Lo udah anggap kita semua keluarga, kan?" Hendra terkekeh hambar dengan ucapannya sendiri. "Atau mungkin cuman kita yang berpikir gitu?"

"Gue benci penghianat! Sekalipun itu sahabat karib gue sendiri!" Abigail menatap Anas lamat. "Lo tau? Penghianat lebih menjijikan daripada seorang pembunuh!"

Anas menajamkan matanya, menatap Abigail tak terima. Apa katanya?

Pembunuh?

Anas tidak boleh lupa jika Adit tetaplah pembunuh Abangnya.

"Gue lupa. Lo semuakan buta ya?" Anas terkekeh pelan, raut penyesalan yang semula menutupi wajah pemuda itu seketika lenyap dalam sekejap. "Lebih mentingin citra Cornelord yang jelas-jelas ketauan pembunuh!"

ANASTASYA {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang