Sejak hari itu semua berubah drastis. Kepala sekolah yang mempertanggungjawabkan segala kesalahannya. Wakil kepala sekolah yang menanggung malu atas perlakuan anaknya dan atas kasus korupsi. Alda yang masih koma, dan Imel yang semakin menyendiri.
Sekolahnya mengalami daring dalam waktu yang tidak diperkirakan, sekolah itu mengalami renovasi. Segala bentuk yang sudah pernah Fajar harapkan, kini dia sendiri yang menangani hal itu.
Anas menepati ucapannya. Pemuda itu mengirimkan semua bukti yang dia kumpulkan dan rekaman tentang kasus Tasya. Segala tindakan keji siswa-siswi, mereka turut menanggung akibatnya. Sekolah juga mengadakan seleksi besar-besaran. Pemilik sekolah bahkan turun tangan langsung menghadap orang tua ketua DA yang sudah dibully habis-habisan oleh Gamma.
Mereka sudah mendapat balasan setimpal dengan perbuatan yang mereka lakukan.
Fajar juga memutuskan mengganti pimpinan sekolah yang baru. Dan semoga dengan ini, kehidupan Tasya akan tentram.
•••
Anas menatap sekelilingnya dengan heran. Ia yakin dirinya tidak salah membaca jadwal, kenapa saat ini lapangan sangat sepi. Anas membalikkan badan, berniat membawa tubuhnya rehat sebentar di ruang ganti klub. Di sana justru dirinya bertemu dengan Kakak kelasnya. Mantan ketua voli angkatan sebelumnya.
"Loh Anas?" Pemuda itu menatap Anas bingung. Ini masih jam pelajaran, kenapa pemuda itu disini. "Lo ngapain disini?"
"Bang bukannya ada jadwal latihan jam segini?"
"Ha?" Pemuda itu menganga. "Nggak ada, Nas."
"Masa iya gue salah baca?" gumam Anas pelan.
"Lo kenapa, ada masalah?" Pemuda itu menarik tangan Anas untuk mendekat. Menyuruh duduk.
"Bang, Adek lo, gapapa?"
Pemuda itu tersenyum tipis, "Gue tau. Thanks untuk semuanya. Gue juga udah nggak sreg Imel temenan sama Alda." Pemuda itu mengangkat bahunya pelan. "Tapi ya gitu. Dia diem-diem keras kepala."
Arion. Kakak Imel. Mantan ketua Voli yang selalu hadir dalam latihan voli Bratandana untuk membimbing atau sekedar menjadi bagian asosiasi.
Arion sudah tahu semua perilaku Adiknya. Imel itu pendiam, tetapi juga keras kepala. Dia tunduk dengan Alda yang mau berteman dengannya sejak SMP.
Hanya Alda yang mau mendekatinya disaat semua siswa menjauhi dan mengejeknya yatim piatu. Hal itu jugalah yang membuat Imel sedikit obsesi untuk membalas kebaikan Alda. Tak peduli itu baik atau buruk, selagi Alda senang Imel akan lakukan.
Arion beberapa hari lalu diberitahu oleh Anas semua kelakuan Adiknya. Arion marah, jelas! Orang tua mereka sudah menitipkan Imel untuk dia jaga, tetapi nyatanya dia mengecewakan titipan terakhir orang tuanya. Hanya Imel yang dia punya saat ini. Semoga dengan sedikit gertakan, Imel akan menjadi Adiknya seperti dahulu, sebelum mengenal Alda.
"Mau kantin bareng?"
•••
"ANAS!"
Teriakan nyaring Dian menyambut Anas dan Arion yang baru memasuki kantin. Mereka berdua menjadi pusat perhatian sepersekian detik, sebelum kembali tenang.
"Lo kemana aja, kemarin nggak masuk kelas?" Hendra bertanya sembari melakukan tos dengan Arion. "Hari ini juga malah bolos," lanjutnya.
"Sibuk gue kemarin, kalo hari ini, gue kira ada latihan."
Abigail mengulum bibirnya. "Gue salah kirim jadwal, harusnya minggu ini bukan minggu depan."
Anas mengernyitkan alisnya tak suka. Dia memang selalu meminta jadwal pada Abigail yang menjabat sebagai manajer pengganti klub. Sejak Abigail bergabung, klub yang sebelumnya tidak ada manajer, kini sudah berubah. Abigail bersedia menjadi manajer, tetapi ia ingin bermain meskipun sebagai cadangan. Dan Arion serta coach menyetujui.
"Sialan lo!"
"Ya sorry."
Awan menatap Anas dan Abigail bergantian, "Kita jadi mau bahas tugas di sini?" ucapnya mengalihkan topik.
"Bang Arion tumben ke kantin, biasanya juga nggak pernah." Dian menyela, bertanya kepada Arion yang baru saja menggeser mangkok batagor.
"Pengen mengenang masa lalu."
"Waduh!" Dian bersiul mengejek kepada Arion yang terkekeh pelan.
Mereka menikmati makanan masing-masing tanpa suara, hanya bisik di sekitar mereka yang terdengar. Hingga Arion tiba-tiba bangkit saat makanannya sudah habis. Pemuda itu menatap bimbang pada adik kelasnya yang belum selesai makan.
"Gue tinggal gapapa, kan?" tanyanya ragu.
"Mau kemana Bang?"
"Mau ke lapangan. Anas, Abigail nanti pulsek jangan lupa!" ucapnya menjawab pertanyaan Dian dan mengingatkan kepada kedua adik kelasnya untuk latihan sepulang sekolah.
Mendapat balasan, Arion berlalu keluar kantin.
"Bang Arion nggak ada kerjaan ya, perasaan gue lihat dia di sini mulu." Awan bergumam heran.
"Keluarganya kaya, dia tidur aja uangnya ngalir." Hendra menyeletuk.
Anas mengangguk pelan, menyetujui. Ia juga mengakui, meskipun orang tua Arion sudah tidak ada. Warisan dan aset yang ditinggalkan bukan main. Meskipun Arion tampak seperti pengangguran tanpa kerjaan, tetapi orang tuanya juga meninggalkan orang terpercaya untuk mengurus semuanya.
"Lo tadi bilang tugas apa, Wan?" Anas bertanya, membuka topik yang semula disela Dian.
Awan berpikir sejenak sebelum menjawab. "Oh itu, tugas PKK. Disuruh buat olahan dari bahan mentah yang bisa jadi kreasi wirausaha."
Kemarin saat Anas tidak hadir di kelas. Guru PKK memberikan tugas untuk membuat makanan yang dapat dijadikan bahan untuk membuka usaha. Yang nantinya itu akan dijadikan nilai praktik. Kelompok disuruh untuk membuat sendiri, jadi ya gitu, mereka semua gabung dengan circle masing-masing. Abigail juga bilang jika akan bahas tugas ini saat ada Anas.
"Yaudah, mau buat apa?"
"Nah itu masalahnya. Kita nggak ada ide mau buat apa." Awan berseru, berdecak kesal setelahnya. Teman-teman mereka sudah menentukan bahan untuk berjualan, apalagi makanan itu juga akan dipamerkan pada pertandingan sahabat di SMA Bratandana.
"Lagipula kita juga nggak pinter masak." Hendra menguak fakta, membuat mereka diam membisu.
"Harusnya kita angkut 1 cewek yang pinter masak, nggak semua cowok kayak gini," ucap Abigail. Pemuda itu mengangkat bahunya bodo amat, saat mendapat tatapan sinis dari Dian dan Awan.
"Kita udah cukup orang," celetuk Hendra.
"Paling bener kita pisah!"
"Kayak nikah aja pake pisah-pisah." Hendra berucap sinis, menimpali ucapan Abigail.
"Heh inget kita itu suruh bikin sendiri kelompoknya, mana ada yang mau sama kita-kita yang beban ini." Dian mengejek, menghina, tak peduli meskipun dia juga kena.
Saat pembagian kelompok sendiri seperti ini, mereka jadi tahu sejahat apa dunia pertemanan. Meskipun sekolah ini dilarang keras membully, tetapi perlakuan siswa masih pada umumnya.
"Abi sama Hendra pinter materi sih, nggak pinter masak!" gerutu Dian memojokan. Membuat Hendra dan Abigail menghela nafas kasar.
"Gue ada ide." Hendra berseru riang. Menggebrak meja pelan, mengalihkan atensi mereka. "Gimana kalo kita bikin nastar kayak punya Anas?"
Anas membulatkan mata, tubuh pemuda itu terkesiap saat namanya dipanggil. "Gue?"
"Iya. Lo bisa masak nastar, daripada bingung mending buat itu aja." Hendra menjelaskan, diangguki oleh Abigail, Awan, dan Dian.
"Setuju gue. Lagian nastarnya enak, gue jamin laku." Awan berucap yakin.
"Tapi ini bukan lebaran. Jarang ada peminat nastar, yang lain aja." Anas mencoba mengalihkan. Mencari berbagai alasan agar dia tidak ketahuan berbohong. Dirinya masak nastar saja hancur.
"Iya juga." Hendra mengangguk pelan beberapa kali.
"Lo bisa buat apa aja selain nastar?"
Mendengar pertanyaan dari Abigail, Anas menggerutu dalam hati.
Mampus!

KAMU SEDANG MEMBACA
ANASTASYA {END}
Teen FictionDicintai secara tsundere? Di mana enaknya?! About Tasya dan Anas. Keadaan yang mengikat Tasya dan Anas dalam suatu hubungan pernikahan. Akibat wasiat dari Nenek Tasya, kehidupan Anas bertambah rumit. Anas hanya ingin mencapai tujuannya, berharap ti...