Tasya melangkah memasuki kamar Anas lebih dalam. Gadis itu menatap punggung polos Anas yang memangku gitar. Suara alunan lirih terdengar dari dalam kamar.
Tasya menutup pintu balkon dan berdiri di sebelah Anas. "Kenapa belum tidur?"
Anas menoleh terkejut saat melihat orang yang berdiri tiba-tiba di sebelahnya, bahkan gadis itu sudah duduk tanpa persetujuannya. "Ada apa?"
Tasya hanya menggeleng pelan, menatap tangan Anas yang berhenti memetik gitar. "Nyanyiin aku 1 lagu, boleh?"
"Nggak! Suara gue jelek."
"Aku tetap dengerin meskipun suara kamu jelek."
"Nggak!"
Tasya menghela napas pelan. Menatap bulan jauh dengan punggung yang bersandar di kursi. "Bulannya cantik, ya?"
Anas menoleh sekilas pada Tasya dan menatap bulan purnama yang terlihat indah. Pemuda itu mengangguk setuju, bulan bulat sempurna memang indah.
Tasya terkekeh pelan saat melihat Anas tidak peka. "Kamu kalo lari, jangan jauh-jauh. Aku nggak bisa ngejarnya."
Anas menaikan satu alisnya heran, "Maksudnya?"
Tasya hanya mengedikkan bahu.
"Kakek tadi ngomong apa aja sama lo?" Jangan kira Anas tidak tahu, pemuda itu paham pasti Kakek sudah menceritakan semuanya pada Tasya.
"Semua." Tasya menatap manik Anas dalam. "Kalau kamu merasa sendiri di dunia ini, lihat belakang ya, ada aku, Kakek yang selalu ada dan dukung kamu."
Anas menghela napas pelan, menaruh gitarnya dan berbaring dengan paha Tasya sebagai bantalnya. Lengan pemuda itu digunakan untuk menutupi matanya. "Gue selalu mencoba lupain semua itu, tapi sulit. Gue selalu kepikiran sama ucapan mereka, setelah gue pikir-pikir ternyata mereka benar. Gue pembunuh Nenek gue sendiri."
"Jangan ngomong gitu. Aku yakin Nenek kamu bakalan marah kalau dengar kamu ngomong gitu. Lagian harapan Nenek udah terwujud karena kamu, sekarang kamu yang harus buktiin meskipun Nenek nggak mendampingi kamu langsung." Tasya mengelus rambut Anas pelan.
Pemuda dengan comma hair style itu memejamkan matanya, menikmati elusan lembut dari istrinya.
"Kehilangan Nenek ternyata sesakit ini, ya?" Anas terkekeh miris.
Nenek. Wanita itu lebih berharga kehadirannya daripada Ibu kandungnya sendiri. Nenek Clar. Panggilan Anas kepada Neneknya.
Tasya ikut serta terkekeh pelan. "Iya. Sakit banget, seakan semua hidup kamu sudah berakhir saat itu juga. Tapi Anas, apa pernah sekali aja kamu lihat berapa banyak orang yang peduli sama kamu, mengisi kehidupan kamu setelah Nenek pergi?" Tangan Tasya tidak berhenti bergerak mengelus rambut Anas.
Anas terdiam mendengarkan ucapan Tasya, ada orang yang selalu mendukungnya setelah kepergian Nenek. Salah satunya Kakek.
"Jangan pernah merasa sendiri lagi. Aku di sini. Kamu bisa berbagi masalah, masalah kamu juga jadi masalah aku."
•••
"Lo ke sana duluan aja, biar gue yang pesen makanan." Anas berlalu meninggalkan Tasya yang menatap arah tunjuk Anas, lebih tepatnya pada meja inti Cornelord. Tasya tersenyum tipis melihat Dian yang melambai ke arahnya.
Gadis itu berjalan menuju meja mereka.
"Duduk, Sya," titah Awan.
"Anas udah baikan?" Hendra bertanya, melongokan kepalanya menatap punggung Anas yang membawa nampan menuju meja mereka.
Tasya mengangguk pelan. Gadis itu ikut menatap Anas.
"Makasih," ucap Tasya. Gadis itu mendorong mangkuk mie ayam ke depannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
ANASTASYA {END}
Teen FictionDicintai secara tsundere? Di mana enaknya?! About Tasya dan Anas. Keadaan yang mengikat Tasya dan Anas dalam suatu hubungan pernikahan. Akibat wasiat dari Nenek Tasya, kehidupan Anas bertambah rumit. Anas hanya ingin mencapai tujuannya, berharap ti...