Bagian 8

34 3 0
                                    

"Anas tolong," ucap Tasya memulai pembicaraan. Gadis itu menggenggam ponsel erat. Sebelah tangannya meremat rok pendek yang dia gunakan.

"Jemput aku nanti." Sedikit menggigit bibir menunggu balasan dari seberang.

Lama berdiam diri suara Anas dari ponsel Tasya terdengar.

"Nggak bisa, gue mau latihan."

Tasya terdiam sejenak, bayangan apa yang nanti terjadi mulai melintas. Sejenak sebelum gadis itu menggelengkan kepalanya brutal. "Kali ini aja," pinta Tasya.

Dari ponselnya, Tasya dapat mendengar helaan napas dari Anas.

"Nggak bisa, pesan online bisa, kan? Gue sibuk."

Belum sempat Tasya membalas ucapan Anas, telepon itu sudah dimatikan oleh penerima.

Tasya menghembuskan napas gusar. Bagaimana ia menghadapi Gamma nanti. Secara tenaga jelas dia kalah, dengan sesama perempuan aja kadang Tasya tak sanggup, apalagi ini. Gamma itu laki-laki, dia ikut organisasi karate dari luar sekolah.

Memutuskan untuk mengalihkan pikirannya, gadis itu melangkah menuju kelas yang diyakini sudah terdapat guru.

•••

Tasya menatap cemas ke arah jalan raya, menanti kendaraan online yang akan mengantarnya pulang. Ini yang dia khawatirkan, jika menggunakan kendaraan online pasti akan lama menunggu. Ia takut Gamma keluar dari gedung sekolah, sebelum dirinya sempat kabur.

Sebenarnya meminta tolong Anas adalah jalan keluar satu-satunya. Sekolah pemuda itu pulang lebih cepat dari pada sekolah miliknya. Dengan begitu Tasya tidak perlu menunggu terlalu lama.

"Coba kabur hey?"

Dengan tubuh tegang, gadis itu menoleh patah-patah. Menatap pemuda yang berdiri tegak di sebelahnya.

Halte tempat Tasya menunggu sepi, tidak memungkinkan ia untuk berteriak, percuma.

Tasya sudah menyiapkan ancang-ancang untuk lari, namun sebelum itu terjadi tangannya sudah dicekal oleh Gamma.

"Jangan sentuh aku!" Tasya berteriak nyaring. Air mata yang ingin ia keluarkan sedari tadi sudah meluncur bebas.

"Gue udah keluar uang gara-gara lo." Gamma menyeringai. Menatap Tasya lapar.

Tasya menunduk, mengepalkan tangannya. Gadis itu menatap kaki yang terbalut sepatu, terlihat sedikit bergetar.

"... lawan mereka Tasya ..."

Ucapan Anas kembali melintasi pikiran Tasya. Tasya menyentak tangan Gamma kasar. Mendongak dengan tatapan tajam, entah keberanian mana yang sekarang menempel di dirinya.

"Kamu pikir meniduri banyak wanita membuat kamu tinggi?" Tasya menatap wajah shock Gamma dengan datar.

Terbiasa menatap wajah datar Anas, membuat Tasya dapat meniru bagaimana pemuda itu berucap. Tajam dan menusuk.

"Kamu justru terlihat seperti seorang anjing yang mendongak pada majikannya. Meminta makan, persis seperti kamu sama Alda." Tasya menghela napas dengan sedikit getar. Ia hampir tersendat mengucapkan kalimat itu.

Anas makasih ucapan kamu selama ini!

Mungkin jika bisa bertemu Anas kembali, Tasya akan mengucapkan kalimat terima kasih pada pemuda itu.

"Pemuda rendahan kayak kamu hanya akan menjadi sampah masyarakat. Manusia hina!"

Plak!

Tasya memegang pipinya yang terasa panas, rasa kebas mulai menjalar. Menatap pelaku yang kini tersenyum miring.

"Lo tunggu balasan dari manusia hina ini Tasya, ikut gue!" Gamma menarik kasar tangan Tasya menuju motornya yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.

Halte ini terletak di depan gerbang sekolah. Sekitar lima puluh meter dari gedung. Masuk kembali ke sekolah bukan hal baik, mengingat tidak ada satupun orang yang berani pada pemuda di depannya.

Tasya menginjak keras kaki Gamma, mendorong dada pemuda itu keras-keras. Salah satu cara untuk melarikan diri.

Meskipun sudah berusaha menjauh, melarikan diri sekuat tenaga. Langkah kaki Gamma terlalu lebar, mampu menyaingi langkah Tasya yang tidak seberapa.

"Terima aja nasib lo sebelum gue paksa. Makin lo persulit makin kasar juga perlakuan gue." Gamma mengancam.

Tasya tetap menggeleng. Hendak berbalik sebelum sebuah tangan menggenggam rambutnya dan menarik kencang.

Rambutnya masih sedikit sakit akibat jambakan Alda pagi tadi, kini Gamma menambah sakit pada kepala Tasya.

Gamma menggiring Tasya dengan menarik rambut gadis itu menuju motornya terparkir, tidak terlalu jauh.

"Pria br******!" Jari telunjuk Tasya menekan dada Gamma. Menatap manik tajam pemuda itu dengan berani. "Apa yang kamu lakukan sekarang, aku pastiin keturunan kamu juga merasakannya Gamma!"

Tasya menendang tulang kering Gamma, dan selanjutnya gadis itu berlari menjauh.

Tasya tau melawan Gamma sama dengan memancing amarah pemuda itu. Terbukti dengan wajahnya yang memerah dengan otot leher yang menonjol, serta otot di dahi yang terlihat samar.

"Sekali lagi lo kabur dari gue, gue nggak akan segan sebar video kita ke semua orang."

Kali ini Tasya terdiam kaku. Merutuki dirinya yang tidak bisa melawan perilaku Gamma kepadanya. Mungkin memang takdir seperti ini sudah digariskan untuknya tidak mendapat kebahagiaan.

"Naik!" Perintah Gamma tidak dipedulikan oleh Tasya.

"LO BUAT GUE MUAK SIALAN!"

Gamma menarik kencang lengan Tasya. Menggenggamnya erat hingga gadis itu meringis. Gamma mendorong Tasya ke motornya, Tasya yang tidak bisa menyeimbangkan langkah membuat kepalanya terbentur tangki bensin motor Gamma, keras.

Ini menyakitkan.

Tasya menyeka pipi yang basah. Menatap Gamma dengan pandangan sayu dan kosong.

"Mana keberanian lo tadi?" Gamma terkekeh ringan. "Manusia lemah, lo pantes dapet ini." Gamma menyempitkan langkah. "Tuhan benci sama lo. Siapapun yang Tuhan benci nggak akan pernah dapet kebahagiaannya!"

"Dengan memainkan wanita, itu kebahagiaan menurut kamu?" Tasya berucap sembari menunduk, napas gadis itu sudah tersenggal. Enggan menatap wajah menjijikkan Gamma. "Justru kamu lebih menjijikkan di mata Tuhan. Tuhan benci sama kamu, bahkan untuk natap mata kamu aja lebih memuakkan!"

"Oh ya, terus kenapa selama ini gue dapet kebahagiaan, gue punya keluarga harmonis, ekonomi mencukupi, pertemanan yang berhasil dan masa depan gue udah tertata." Gamma mencekram dagu Tasya, membuat gadis itu mendongak menatapnya. "Beda sama lo yang berantakan. Asal usul lo nggak jelas, mungkin ortu lo udah ada firasat kalo lo bakalan jadi beban, pembawa sial, nggak berguna!"

Refleks tangan Tasya terangkat menampar pipi Gamma, namun gadis itu tidak menyesal sama sekali meskipun kemudian ia mendapat balasan yang lebih parah.

Gamma menyeret tubuh Tasya hingga pinggang gadis itu menubruk spion. Membentuk kan kepala Tasya pada tangki besi berkali-kali.

"Mati lo sialan!"

Tasya mendongak dengan dahi yang sudah mengeluarkan darah, tatapan matanya kosong. Kepalanya dipaksa menatap wajah pemuda itu. "Lo tau, gara-gara lo semua guru bandingin gue."

"Gue emang anak wakepsek, tapi emang gue harus dipaksa sempurna karena status, ha?!" Gamma menampar pipi Tasya keras, menendang perut gadis itu sebelum sebuah tendangan menerpa punggungnya.

ANASTASYA {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang