1

953 17 1
                                    

Terpaksa aku menuruti permintaan Mas Alfi.
Mungkin,ini sudah saatnya anak-anak tau.Aku yang selalu melihat Alwi dan adiknya masih sama seperti anak kecil menjadi lupa untuk memperlakukan mereka sebagai mana mestinya.

Didalam kamar,aku dilanda gundah.menunggu beliau menyusulku untuk menceritakan hasil obrolannya dengan sang anak.

Hampir sejam lamanya,barulah pintu kamar terbuka.Raut wajah beliau seperti kurang enak dilihat.Namun itulah dia,pria sederhana yang selalu berada digarda terdepan menenangkanku dengan kedewasaannya.

"Gimana ?"

Tanyaku tidak sabaran.

Senyumnya tipis,tapi masih bisa ku lihat.

"Masih gak nyangka...tapi udah paham"

Logika dan jiwaku tidak singkron,mungkin terlalu overthinking.Rasanya ingin menangis,tapi ini bukan waktunya untuk menangisi yang sudah terlanjur meledak.

Elaan nafas beliau yang sambil menatapku cukup mengiris hati.Isi kepalaku terlalu penuh,bahkan keinginan yang tadinya mendegar semua penjelasannya malah berubah ketakutan.

"Abang gak mau Lia sampai tau yank..."

Akupun juga berharap demikian...

Tapi...

"Abang mau ngomong langsung sama kamu"

Sudah ku duga.

Anak itu seperti Ayahnya,yang setiap ada masalah tidak suka dilarut-larutkan.

Hanya saja,apa aku siap ?

Apa aku sanggup merangkai cerita dari awal,yang sesungguhnya setiap ku ceritakan sama saja menggores lebih dalam luka-luka yang sulit ku balut ?

Tapi biar bagaimanapun,siap tidak siap,mau tidak mau aku harus mempertanggung jawabkan semuanya.

"Aku udah coba jelasin semuanya,tapi alangkah lebih baik penjelasan itu keluar dari hati kamu.Aku masih punya batasan-batasan itu yank.takutnya masih ada yang kurang,makanya dia maunya kamu..."

Baiklah...

Ku atur keberanian lebih kuat lagi,berdoa dalam hati semoga Alwi bisa menerimaku sebagai ibu yang bersuami dua.

Ku susul anak bujangku di kamarnya,dia sedang duduk di ranjang memainkan ponselnya.

Mata kami sempat bertemu,tapi sepersekian detik dia kembali memindahkan pandangannya kelayar ponsel.

"Mau langsung dengar semuanya dari Bunda ?"

"hem..."

Okeh...

"Bunda gak perlu nanya lagi kamu dapat bukti itu dari mana,dan memang...semua itu benar..."

Dia masih diam.

Ku lanjutkan lagi meski tak ada respon darinya.

"Memang benar adanya soal Bunda bersuami dua,tapi...Bunda punya alasan untuk itu"

Aku paham betul bagaimana malunya seorang anak ketika mengetahui rahasia skandal orang tuanya yang dilarang agama dan ditantang oleh negara.

Nikah sirih,terpaksa ku lakukan demi menyelamatkan mentalku dari toxic-nya pernikahanku sebelumnya.Aku sadar,itu bukan menjadi satu alasan yang pantas dilakukan ataupun dicontohi.

Ini salahku...

Tapi,untuk mengambil keputusan yang beresiko itu aku sudah banyak berperang dengan logikaku,dan aku siap dengan semua konsekuensinya.

Sebelum bertemu Mas Alfi,aku adalah wanita yang penuh konflik batin.Mental jadi rusak,luka lebam yang tercipta dari perlakuan suami pertamaku yang hobi selingkuh,mabuk-mabukkan dan yang paling sulit dimaklumi adalah...KDRT.

Selama menikah,tidak pernah sekalipun aku merasakan bagaimana rasanya suami yang setia kepada istrinya.Aku yang selalu dianggap salah ketika mengutarakan pendapat dan keluhan,dianggap keras kepala ketika membela diri.

Keluarga mertua dan keluargaku yang selalu ikut campur,menjadi pemicu keretakkan rumah tanggaku.Aku tidak memiliki bahu untuk bersandar.Tidak ada tempat mengadu,ataupun pembelaan.

Sakit dan deritanya ku tanggung sendiri,hingga menjadikanku wanita pembangkang dan beginilah sekarang,aku sampai berani mengambil resiko menerima lamaran seorang pria yang belum genap sebulan ku kenal-dulu.

Naif ? katakanlah seperti itu.

Aku selingkuh ? iya.

Meski aku sadar,apapun alasannya perselingkuhan itu tidak dibenarkan.

Rumah tanggaku tidak sehat,ekonomi yang serba kekurangan,ditambah lagi kedua anakku hasil dari pernikahanku yang pertama sudah tumbuh dewasa dan mereka sudah memahami keadaan orang tuanya.

Setiap hari mereka melihat pertengkaran-pertengkaran yang tidak ada habisnya mengakibatkan mental mereka ikut terganggu.

Aku bukan wanita berkarir seperti istri-istri diluaran sana,finansial menjadi kendala utama bagiku menggugat cerai.keputusan-keputusan yang ku ambil semakin sulit dan malah mendapat cacian juga makian dari si bajingan itu.

Sekalipun aku punya uang,si keparat itu tidak akan membiarkanku menang melawannya.Aku sering meminta kepada Tuhan dikirimkan seseorang yang memiliki luka sepertiku.

Dan yaah,Tuhan menjawab doaku.Lelaki itu pun datang dengan berbagai macam kepingan luka yang sama denganku.Kami berjanji saling menyembuhkan,dengan cara menjalin hubungan yang terlarang.

"Bunda nikah sirih tapi bukan berarti gak punya saksi Bang..."

"Abang hasil diluar nikah ?"

"...."

Bersuami duaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang