Aku tiba di rumah dengan perasaan marah.Emosiku semakin tidak terkontrol setelah menerima makian lewat telepon tadi.Satu tanya dalam kepalaku,maunya orang ini apa ?
"Tanggung jawabmu sebagai istri tuh apa sih ? sekalipun ada Bibi,gak semua kerjaan rumah musti dia yang ngerjain kan ?"
Keningku melipat,bukannya selama ini dia jarang menyentuh masakkan yang ku buat ? Lalu sekarang,kenapa malah menuntut ?
"Mau lo apa ?"
Tanyaku sudah siap beradu argumen dengannya.Aku ingin mendengar sebesar apa kesalahanku dimatanya.
Selama ini,aku sudah cukup terlalu lama diam.Membungkam banyak kejadian yang harusnya aku luapkan.Tapi,ku urungkan demi ketenangan batin.Aku memilih sikap itu,karna sudah banyak malu yang ku tanggung dari pandangan tetangga-tetangga.
Sering bertengkar membuat tenagaku banyak terkuras habis.Tapi kali ini,menurutku perlu ku bantah.
"Pake nanya ! Harusnya lo tau kewajiban sebagai istri ! JANGAN JADI ISTRI DURHAKA !!"
Suaranya semakin melengking.Dulu,setiap dia membentak yang ku lakukan hanya diam dan menangis.Menelan mentah-mentah semua cacian dan makiannya.Sekarang...cukup !
Mas Alfi susah payah membiayaiku agar badan yang dulunya tinggal kulit membungkus tulang kembali berisi,bagaimana bisa aku membuat semua usaha itu jadi sia-sia hanya karna makan hati dari perlakuan si bajingan ini.
Baktiku,sudah cukup !
"Ngomong kewajiban ? musti gue beliin cermin dulu baru nyadar gimana lo jadi suami ?"
Sorotnya semakin menikam,tapi aku tidak takut.Dia yang mengajariku menjadi berani melawan.Aku yang sekarang,sudah bukan lagi aku yang dulu.
"Anjing lo ! Kalau masih makan dari duit suami,gak usah ngebantah ! lo pikir apa yang lo lakuin itu udah bener hah ?"
Prankkk !!!
Sebuah piring kaca,dibanting kelantai.Lihat saja,dia semakin brutal.Makian itu,lagi-lagi terlontar.Sesak sekali rasanya,direndahkan karna tak memiliki penghasilan sendiri.
"DASAR PEREMPUAN SIAL !!!"
Aku sudah tidak bisa menghitung berapa ribu kali kalimat itu dia sematkan padaku.Ingin menangis,tapi sekuat tenaga ku tahan.Aku tidak mau lagi dia melihat air mata kepedihanku.
Selesai puas melampiaskan kemarahannya,dengan mudah dia berlalu begitu saja masuk ke kamarnya dan membanting pintu.
Aku tau apa yang membuatnya murka,makanan yang dimasak Bibilah alasannya.Tentu saja,aku tidak perduli.Walaupun aku tau peranku sebagai istri sudah tak berbakti lagi dan menambah dosa.
Di kamar,aku meluapkan air mata yang sedari tadi ku tahan.Ingin rasanya aku mengadu ke Mas Alfi,tapi rasanya tidak adil jika dia selalu mendengar keluh kesahku.Tapi,aku tidak memiliki tempat mengadu selain dirinya.
Hanya saja,aku cukup memikirkan dirinya yang dijam seperti ini sedang bekerja.Tidak baik jika aku mengacaukan pekerjaannya hanya karna perihal pertengkaran dan air mataku.
Sedih rasanya jika selalu mengingat kata-katanya "apapun masalah kamu,jangan pernah sekalipun sembunyiin dari aku.aku selalu ada disini buat kamu,dan pulanglah kapanpun kamu mau" Tapi hari ini,belum dulu.
Biarlah aku sendiri yang memendamnya dan menyelesaikannya.Aku hanya bisa mengeluh,selalu dan selalu saja memintanya untuk menungguku pulang sudah membawa akta cerai.Tapi sampai hari inipun janji itu belum bisa ku tepati.Dan dia,tak pernah sekalipun menagih ataupun mendesakku membawa lembaran kebebasan itu untuknya.
Mas Alfi selalu memberiku ruang untuk memikirkan bagaimana jalan terbaik untuk rumah tanggaku disini.Dalam artian,semestinya aku harus tegas mengambil keputusan jika memang aku sudah tidak sanggup.
Nyatanya,keputusan itu belum berani ku ambil hingga saat ini.
Kurang sabar apa lagi Mas Alfiku itu ?