42

72 3 0
                                    

"Lia sama Alwi ada di rumah ?"

Umar mengangguk.

Kepulanganku kali ini sengaja tidak ku beritahu kepada anak-anak.Bahkan Mas Alfi saja tidak ku izinkan menjemputku di bandara meski seperti biasa,dia selalu meminta dan menawarkan.

Entah kenapa,jantungku berdentum tidak karuan.Telapak tangan berkeringat dan juga dingin.Perasaanku kembali tidak enak,seperti cemas dan ketakutan.

Ya Robb...

Ku mohon jangan sekarang...

Batinku.

Ku rogoh isi tas berkali-kali,mencari pil itu tapi tidak ketemu.Aku sudah hafal betul reaksi tubuhku jika seperti ini,dan aku tidak ingin tiba di rumah dalam kondisi yang aneh.

"Ck,dimana sih ?!"

"Eum,Ibu kenapa ?"

Tanya Umar yang sedang menyetir.

Aku menggeleng,dan terus mencari keberadaan produk penolong itu.

Damn !

Aku lupa membawanya.Pil itu malah ku simpan di laci tadi.

"Mar,boleh singgah di apotik bentar nggak ?"

"Boleh Bu"

Mobil tepat berhenti didepan sebuah apotik,dan Umar segera memarkirkan mobil.

"Titip ke saya aja Bu,biar saya yang turun"

Sejenak aku berpikir,tapi tidak mungkin ku titipkan ke Umar nama obatnya.

"Oh,nggak usah Mar.Soalnya saya cuma mau beli minyak angin aja"

"Beneran gapapa Bu ?"

"Udah gapapah.Tunggu bentar yah ?"

"Iyah Bu"

Segera aku turun,dan langsung memesan obat itu.Setelah ku bayar,aku kembali masuk ke mobil dan melanjutkan perjalanan.

Tidak sampai sejam,kamipun tiba di rumah dan sudah disambut Bang Ali dan juga Mas Alfi yang sedang bermain catur dipos jaga.

Aku turun,melewati mereka dan langsung masuk kedalam rumah.Mas Alfi sempat berdiri,tapi karna menyadari responku yang masih diam,beliau hanya mengikutiku dari belakang.

Ku dengar Bang Ali meledekku,tapi ku abaikan.

"Kirain udah gak mau balik Bi ?!"

"Diem lo kodok !"

Bentak Mas Alfi.

"Yank ?"

Tanpa menyalim tangannya,aku masuk ke kamar dan mengganti pakaian.Mas Alfi masih diam,duduk dipinggiran ranjang menungguku sampai selesai.

"Gimana perjalanannya ?"

"Lancar"

Jawabku sekenanya.

Aku kembali keluar menuju dapur.Menyadari Mas Alfi tidak menyusulku,segera ku ambil segelas air dan langsung menelan pil itu.Tepat setelah itu,Mas Alfi keluar menghampiriku.

Aku yang sudah duduk di ruang tengah sambil menikmati serial drama yang biasa ku tonton setiap seminggu dua kali itu,didekati Mas Alfi.

Dia berdehem,sembari membenarkan posisi duduknya yang ku tangkap dari ekor mataku.Beliau yang terlihat ingin memulai obrolan,enggan ku respon.

"Ekhem"

Sekali lagi dia berdehem,dan aku susah payah menetralisir gangguan kejiwaanku.Ini,sungguh mencekik.Hingga,pada saat Mas Alfi membuka suara lagi,aku sudah lebih dulu berdiri berniat meninggalkannya.

Bersuami duaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang