Waktu menunjukan hampir pukul empat sore,yang ditangkap pandanganku pada jam yang bertengger di dinding.Tubuhku terasa remuk,seperti sehabis dicabut satu persatu setiap bagiannya.
Aku mengumpulkan separuh nyawaku meski masih belum terlalu kuat.Tenagaku banyak terkuras padahal tidurku hampir dua belas jam lamanya.
Di nakas sana,berjarak setengah meter dari pembaringanku,ku lihat ada segelas susu dan semangkuk sesuatu ditutup.Mungkin Bibi menyiapkannya saat aku masih tidur.
Masih malas,ku raba bawah bantal mencari dimana keberadaan ponselku.Karna tidak ketemu,aku bangkit dan rupanya benda itu tergeletak diatas nakas samping nampan.
Segera ku raih dan duduk dipinggiran kasur.Mataku menangkap sebuah benda botol berukuran kecil,berwarna putih.Aku terdiam,dengan tatapan sendu perlahan ku ambil benda itu.
Elaan nafasku,terurai.Bibi bahkan sudah hafal betul menyiapkannya.Pil ini,yang selalu ku jadikan solusi setiap kali mengalami hal buruk.
Ku simpan kembali pil itu didalam laci,lalu membuka layar ponsel.Begitu kode sandi ku masukkan,sebuah pesan masuk.
Mas Alfi
Hari ini pulang kan ?Mas Alfi
Yank ?Aku tersenyum tipis.Namanya sengaja ku ganti semenjak pulang dari Bandung.Meski begitu,ada rasa haru yang menyelip,karna beliau masih mencariku.
Tapi...
Hari hampir menuju magrib,waktuku ke Bandung masih lumayan sempat.Segera aku menyegarkan bandan dan bersiap berangkat.Tapi sebelum itu,ku habiskan dulu susu dan bubur buatan Bibi,kasian beliau sudah letih menjagaku.
"Mau berangkat ?"
Suara Bibi mengagetkanku kala menuruni tangga terakhir.Aku menghampirinya yang sedang berdiri dengan kain andalannya di bahu,beliau menampilkan seulas senyum.
"Makasih yah Bi,gak pernah lelah ngurusin Ebi..."
Melow perasaanku,ketika tubuh rentan itu ku peluk.Dia membalas pelukkanku,tapi bahunya bergetar.
Bibi menangis...
"Biii....jangan nangis dong...."
"Maafin Bibi nak,karna gak bisa bantu kamu lebih dari ini hikss...Bibi tau seberat apa beban di pundakmu,tapi Bibi mau kamu lebih kuat dan ikhlas lagi menghadapinya...hikss..."
Aku terhenyak mendengar isakkan Bibi.Hatiku menjadi sendu karna Bibi ikut sedih dengan keadaanku.Ku peluk lebih erat lagi,menahan genangan air di mataku.
"Bi..."
Pelukkan ini sedikit terurai,ku usap air mata Bibi.
"Nak...? A-apa-..."
Pertanyaannya menggantung,lalu kemudian Bibi memelankan suaranya setelah menoleh memastikan tak ada orang lain selain kami berdua.
"Hem...?"
Kedua tangan beliau mengelus bahuku...
"Apa...suamimu disana memperlakukanmu dengan baik hem...?"
Bibirku melipat,juga kelopak mataku berkedip beberapa kali.Aku menunduk,menyembunyikan senyum miris.
Kemudian,aku mengangkat kembali pandanganku kepada beliau.
"Mas Alfi sangat mencintaku Bi..."
Yah...ku rasa itu adalah jawaban yang tepat untuk membuat hati Bibi sedikit legah.Sejujurnya,aku tidak memiliki jawaban yang lebih kongkrit untuk ku utarakan perihal Mas Alfi.
Sebab,kejadian itu masih saja bermain didalam isi kepalaku hingga saat ini.Aku belum mengetahui siapa wanita yang bersama Mas Alfi pada malam itu,dan sejauh apa hubungan mereka ?
Tapi jauh dilubuk hatiku,aku masih percaya kalau Mas Alfi tidak akan menghianati pernikahan kami seperti yang sudah terjadi di rumah tanggaku disini.
Keberanianku untuk mengetahui lebih jauh lagi soal peristiwa itu,masih berada dibagian paling bawah.
"Kamu harus tau nak...Bibi sudah menganggapmu seperti anak sendiri.Jadi apapun yang kamu alami,jangan pernah sungkan cerita ke Bibi yah nak ?"
Luruhlah sudah air mata yang sedari tadi ku tahan.Ku dorong kembali tubuh kedalam pelukkan Bibi.Kalimat penenang yang Bibi uraikan barusan seolah membangkitkan kembali jiwa yang sempat tercecer.
"Bi....hikss..."
"Setiap shalat,Bibi selalu mendoakan kebahagiaanmu.Apapun yang sudah terjadi dalam kisah hidupmu,Bibi percaya ketetapan Tuhan.Dia tidak akan memberikan sebuah kisah tanpa sebab dan maksud sekalipun itu buruk..."
Sekalipun itu buruk...
Ku bekap tangis diceruk leher Bibi,meredam segala pelik yang akhir-akhir ini menghantam tanpa ampun.Aku jarang meluapkan kesedihan kepada Bibi,karna tidak ingin beliau ikut terbebani.Aku lebih memilih menyimpannya sendiri meski Bibi juga tau bagaimana kondisiku.
Sejujurnya aku cukup malu terhadap beliau.Dia menyaksikan sendiri soal aku,si wanita poliandri yang tidak hanya ada dalam sinetron-sinetron yang biasa ia tonton.
Ini nyata,didepan matanya.
"Nak,sudah mulai gelap.Mumpung suamimu tidak ada..."
Aku mengangguk sembari menyeka air mata.
"Iyah Bi...Ebi berangkat dulu.Bibi jaga kesehatan,jangan lupa makan"
"Hati-hati di jalan nak.Salam buat suami dan anak-anakmu disana..."
"Pasti Bi"
Aku berpamitan sambil menyalim tangannya.Tenggorokkanku sakit menahan tangis,sebab Bibi masih saja berdiri diambang pintu sana sambil melambaikan tangan.Hingga ketika motorku meninggalkan rumah itu,aku masih sempat melihat tubuh Bibi dari spion.
Aku ingin menangis,tapi ku tahan karna tidak ingin Mas Alfi menyambutku dengan mata yang sembab.
To Mas Alfi
Bilangin ke Umar ke bandara skrg