56

189 7 18
                                    

Ruang kerja Mas Alfi,menjadi pilihanku untuk berbicara serius dengan Alwi.Aku ditemani Mas Alfi,dan kebetulan Lia akhirnya diantar Bang Ali sesuai perintah Abangnya.

Ini kesempatan bagus buatku untuk mengintrogasi Alwi soal simpang siur hubungannya dengan gadis yang bernama Rere itu.

"Boleh Bunda tagih jawaban jujur kamu ?"

"Bukannya Alwi udah jelasin Bun ?"

"Emang udah.Tapi kenapa dia kesini nyariin kamu ?"

Sejenak dia terdiam.Aku tidak bisa menebak apa yang didalam isi pikirannya.Hanya saja jika aku perhatikan,masih ada sesuatu yang anak ini sembunyikan dari kami.

"Hem ?"

"Ya,mana Abang tau Bun.Dia masih gamon kali ?"

"Bunda gak lagi becanda Bang.Jawab yang jujur,kenapa dia masih kesini nyariin kamu ? Apa ada yang kamu sembunyiin dari Bunda dan Papah ?"

Lagi,dia kembali terdiam.

"Papah sama Bunda gak bakal nge judge kamu.But,please give an honest answer"

Ujar Mas Alfi meluruskan maksud,menghindari prasangka tidak baik dari sang putra.

Alwi anak yang kurang berbagi keluh kesah kepada orang tuanya,membuat kami sedikit sulit untuk membujuknya agar lebih berani mengungkapkan apapun yang dia rasakan.

Mas Alfi benar-benar menurunkan hampir semua kepribadiannya kepada putranya.

Helaan nafas Mas Alfi terurai.

"Kamu tau kan,apa alasan Bunda gak merestui hubunganmu dengan gadis itu ?"

"Abang gak keberatan kalau itu mendasar Pah..."

Lidahku kelu.

Tidak ku pungkiri,aku terkesan egois memang.Dan ini terasa sungguh rumit jika ku uraikan satu persatu.

Bukannya aku belum berdamai dengan masa lalu aku dan Mas Alfi.Tapi jika aku mengulik lagi pada masa-masa itu,hatiku masih jelas sekali merasakan pahitnya kenangan itu.

"Abang,Bunda cuma pengen yang terbaik buat kamu..."

Kontak batin ini,ada getaran aneh didalam sana.Aku tau Alwi sedang sedih,hanya saja dia tipikal anak yang kurang pandai merangkai kata.

Aku tergugu,ketika tatapannya mengarah padaku.

"Bun..."

Dipelupuk sana,ada ribuan jawaban yang ku maknai dari sejuta pertanyaan dalam hatiku.

Putraku,sedang kalut.

Jelas,dari sorot tatapannya.

"Sini,Bunda peluk..."

Ketika pelukan itu kulakukan,menarik tubuhnya lebih erat dalam dekapanku,bahunya seketika bergetar.Apa sebenarnya yang sedang dialamai putraku ini ?

Sembari ku elus kepalanya,air mataku ikut menggenangkan kesedihan.

"...Abang udah nyentuh dia Bun..."

Deg....

Didetik itu pula,air mataku tumpah tak terbendung...

Tuhan....

Kepala Mas Alfi menunduk.

Aku tidak bisa melihat raut kekecewaan suamiku.Tapi aku tahu,hatinya hancur.

"...Maafin Abang hikss..."

Ku seka air mataku,lalu menangkup wajah putraku.Tatapannya,penuh rasa bersalah.

"Ma-maafin Abang Bun...u-udah...udah ngecewain Bunda sama Pa-pah hikss..."

Aku menggeleng dengan linangan air mata.

Aku kecewa,tapi aku memaafkannya...

Putraku,pasti memiliki alasan.

Sesuai janjiku,aku tidak akan menghakiminya.Meski,disudut hatiku cukup marah.

Ku lihat,Mas Alfi bangkit dari duduknya.Keluar dari ruangan dingin ini dengan langkah yang lemah.

Beliau,meninggalkan kami tanpa sepatah katapun.

Ketika pintu itu ditutup kembali,aku merasakan nyeri yang luar biasa.

Kejujuran Alwi masih terus berputar di kepalaku hingga pagi menjelang.Tidurku terasa tak berguna lagi memikirkan semua permasalahan yang selalu datang menghantam kewarasan.

Setiap pulang ke kota ini,suara dengkuran lelap Mas Alfi menjadi favoritku.Ku jadikan bahan untuk mengantar kantukku.Tapi semalam,kami seolah terjaga dengan masing-masing isi pikiran sendiri.

Alwi,sudah merontahkan jiwa kami.

Tapi,sikap bijak tetap harus kami lakukan.

Mungkin,ini sudah takdir yang harus kami hadapi.

Seburuk-buruknya anak,tidak akan bisa menghapus kenyataan bahwa mereka darah daging kita.Sekalipun dunia runtuh,mereka keabadian yang lahir dari rahim yang diciptakan Tuhan.

"Terima kenyataan yank...."

Tangisku pecah,didalam dekapan suamiku...

Bersuami duaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang