Aku menjilat bibir,menghalau segala macam pikiran yang iya-iya.Kami bertiga terus diam didalam ruang kerja Mas Alfi.Aku disandra oleh kedua priaku seperti seorang tersangka,perihal struk itu.
Beberapa saat kami saling diam,akhirnya Mas Alfi membuka suara.
"Kamu cek kembali fungsi obat itu Bang.Kali aja Papah salah.Tapi kalau bener,kali ini Papah udah gak bisa tolerir"
Lagi,aku memejam dengan nafas yang sesak.Rongga dadaku menyempit seperti dihimpit benda berat.
Ku lihat Alwi membuka ponselnya,menuruti perintah Ayahnya.
Mas Alfi duduk di kursi putarnya,sementara aku duduk di sofa berseberangan dengan Alwi yang duduk didepanku.
Ruangan Mas Alfi full AC,tapi hawa panas yang ku rasa tak kunjung mereda.
Ku dengar Alwi mengehela nafas berat,lalu menatapku.Ku tolehkan pandangan kearah lain,tak mau membalas tatapan anak bujangku itu.
Ini terlalu menakutkan.
"Obat anti depresi Pah..."
Pelan suara Alwi,tapi mampu menggetarkan jiwaku.
Alwi menyugar kasar rambutnya,menatapku penuh keputus asaan.
"Yank,bisa kamu jelasin ke aku ?"
Aku tak mampu berkata-kata lagi.Harusnya struk itu ku buang saja kemarin.Aku tidak menyangka sewaktu mengurung diri di kamar mandi,Mas Alfi memeriksa isi mobil.Dan struk itu,didapatnya tertinggal di kursi belakang.
BODOH !
Saking kacaunya aku tidak berpikiran panjang soal resiko ini.Kenapa aku terlalu teledor ?
"Yank ?"
Ku tarik nafas serakus mungkin,menguatkan jiwa dan logika untuk menebus pertanyaan Mas Alfi.
"Tanpa aku jawab,kamu udah tau kenapa aku begini"
Jawabku membalas panah matanya.
"Tapi soal obat itu,kamu gak pernah jujur ke aku yank"
Beliau bangkit dari duduknya,berpindah berdiri dipinggir meja lebarnya.Pantatnya bersandar disudut meja,masih menatapku dengan kedua tangan yang dimasukkan kedalam saku celana.
"Udah berapa lama,kamu mengonsumsi obat penenang itu ?"
"Mas ? Aku bukan seorang pembunuh.Introgasi yang kalian lakuin ke aku,terlalu berlebihan !"
Jawabku menyeruakan isi hatiku.
"Bukannya sebelum kita nikah,kamu udah tau semua soal keadaanku ?"
Sambungku menatapnya dengan linangan air mata.Aku sudah menangis,tak mampu menghadapi perlakuan yang menurutku terlalu menginterfensiku.
"Kenapa Mas...? Kamu udah ilfeel sama aku sekarang ? Kamu jijik punya istri yang ternyata belum benar-benar sembuh dari sakitnya ? Or maybe,kamu udah gak mampu ngehadapi wanita pesakitan kek aku ?"
Mas Alfi terdiam.
Ku seka kasar air mataku,membuang wajah kearah lain.
"Mas...."
Suaraku bergetar.Demi Tuhan ini sungguh menyesakkan.Aku sudah diambang batas kemampuan.Persoalan ini harus ku akhiri,agar tak semakin melibatkan siapapun.
Susah payah ku kuatkan hati meski ku tahu ini berat.Aku sudah terlalu jauh mengorbankan orang-orang yang tidak bersalah.Ke'egoisanku menyeret mereka hanya demi menyalamatkan mentalku memang sungguh keterlaluan.
Harusnya tidak seperti ini kan ? Harusnya aku menyembuhkan luka sendiri.Harusnya aku menolak lamaran beliau dihari itu.Harusnya,aku sembuh sendiri tanpa bantuan siapapun.
Alwi dan Lia sudah dewasa,mereka sudah bisa menjaga diri sendiri,meski tanpa aku.Toh selama ini,aku jarang pulang ke rumah inipun mereka masih hidup baik-baik saja.
Alwi dan Lia sudah paham soal kondisi rumah tanggaku dan Ayah mereka.Maka dari itu...
"Mari kita akhiri kesakitan ini Mas...."
Kalimat itu,ku ucapkan setelah memastikan bahwa aku akan baik-baik saja nantinya-mungkin.
Meski berat,meski sakit,aku harus menguatkan diri agar tak ada lagi kekacauan yang ku perbuat.Semua ini,berasal dariku.Dari awal pilihanku menikah dengan pria yang menatapku kaget itu memang sudah salah.
Aku terlalu menuruti kata hati yang diluar nalar.Menikah lagi padahal masih berstatus istri orang lain.Aku wanita hina,kotor dan juga menjijikkan.
Wanita pendosa sepertiku tidak pantas mendampingi seorang Mas Alfi yang begitu baik,tulus dan sabar yang luar biasa.Aku wanita yang penuh dengan konflik batin ini,tidak pantas dibanggakan suami dan anak-anakku.
Ku seka kasar lagi air mataku,tanpa menunggu jawaban apa-apa dari Mas Alfi,aku memilih meninggalkan ruangan itu.
"Bunda ?"
Tidak.
Kali ini aku harus bisa...
Kakiku membawaku menuju kamar,membuka lemari setelah koper sudah siap menampung pakaianku.
"Bunda ?!"
Alwi berseru menghampiriku.
"Bun apaan sih ?"
Aku terus mengeluarkan isi lemari dan mengabaikan Alwi yang terus berusaha menahanku.
"Bunda stop !"
Brakk !!
Tanganku terhenti,kala anak ini menutup kembali pintu lemari dan berdiri menghalangiku.
"Bun...please stop it..."
"Minggir..."
"Nggak"
"Bunda bilang minggir Alwi..."
"Gak mau !"
Matanya memerah,dan aku tidak sanggup melihatnya.
"Kamu mau ninggalin kita...?"
Suara Mas Alfi dari belakang punggungku,terdengar lirih.Aku berbalik,membalasnya dengan air mata yang tak bisa ku cegah.
"hhh...maafin aku,karna gak bisa jadi istri yang sempurnah Mas..."
"Yank,bu-..."
"Aku istri penyakitan.Wajar kalau kamu marah karna aku ketahuan make obat itu.Kamu jadi kecewa dan mungkin...mungkin kamu juga malu"
"Yank ?!"
Aku tersenyum dibalik tangisku.
"kamu pasti berpikir Mas,usahamu selama ini menyembuhkanku sia-sia.Tapi satu yang harus kamu tau,semenjak kamu hadir dihidup aku,gak pernah seharipun aku gak bahagia.Aku bahagia Mas...tapi aku gak hanya hidup disini.Aku hidup didua alur cerita yang gak bisa aku ubah.Aku masih lemah ngehadapin takdir yang Tuhan kasih ke aku.Aku...aku gak sekuat itu Mas..."
Aku menunduk,memilin jemari tanda aku semakin putus asa.
Ku angkat kembali kepalaku...
"Karna kamu gak bisa tolerir,jadi...mari kita putusin aja rantai kesakitan ini"
BRAKKK !!!
Bantingan pintu itu,adalah aksi protes Alwi yang sudah keluar meninggalkanku dan Mas Alfi.
Aku terperosok ke lantai.