5

314 6 0
                                    

"Hati-hati dijalan.Kabarin kalau udah nyampe..."

Aku menghela nafas berat,seberat langkah yang seolah menolak untuk dilanjutkan.Apa lagi,melihat senyum si bungsu yang berubah masam dan wajah datar si sulung.

Hal seperti ini akan selalu terjadi setiap kali aku kembali kekenyataan yang sesungguhnya,dan Bandara Bandung-pun selalu menjadi saksi air mata ketidak relaan ini.

Aku mengambil penerbangan yang lebih cepat.Pukul sepuluh pagi aku tiba di kota asalku.Bibi tergopoh-gopoh menyambutku di halaman.Ia langsung mengambil alih barang-barangku.

"Tuan ada ?"

Tanyaku malas.

Bibi tidak menjawab,hanya menunjukkan ekspresi yang sudah ku hafal.Yang berarti,dia tidak ada.Aku menghela nafas legah.

Kamar-dia yang terpaksa ku lewati jika hendak ke kamar,ku dapati pintunya setengah tertutup,menampakkan isi yang super berantakkan.

Pakaian kotor berserakan dimana-mana,seprai tidak terpasang pada tempatnya,ditambah aroma alkohol yang menelisik hidung.Isi kepalaku sukses dibuatnya semakin kacau.

Setibanya di kamar,aku langsung menghempaskan diri dan lara di ranjang.Aku mengeluarkan ponsel dari saku celana bermaksud menghubungi Rere,anak pertamaku dengan-dia.

Sesak yang ku tahu akan semakin bertambah setiap kali mendengar jawaban Mba Rere-nya Lia.Namun urung,karna aku tau dijam seperti ini dia pasti menebus waktu istrahatnya.

Sebagai karyawan marketing disebuah perusahaan property,Rere sudah cukup membantu kebutuhan ekonomi keluarga.Termasuk,memanjakkan kedua adiknya yang di Bandung.Tidak ada kata "mba belum punya duit" dan itu selalu membuatku tidak enak hati.

Katanya "aku kerja buat siapa kalau bukan buat mamah dan adik-adik aku ?" meski dia bukan anak kecil lagi yang tidak paham,bahwa Alwi dan Lia itu hasil pernikahan diam-diamku dengan lelaki lain.Hingga sampai saat ini,adiknya terjamin dan rahasiaku tertutup rapat.

Jadinya,aku malah mengamati foto Mas Alfi yang ku jadikan wallpaper selama ini.Melihat senyum didalam foto,aku selalu berterima kasih karna tangga kepastian yang sudah kami jejaki sejak kejadian terlarang itu.

Suara bel pintu bertamu dipendengaranku,ketika hening dan sepi larut mencumbu malam.Aku lekas turun,Bibi tampak tergopoh-gopoh,tapi aku tiba deluan membuka pintu.

Amarah seketika membucah melihat-dia didepan pintu.Ia dipapah oleh wanita berambut panjang.Kondisinya sangat berantakan.Selalu seperti itu.

Genangan bening serta merta mengaburkan pandangan.Wanita tadi hendak berkata sesuatu ketika lebih dulu ku banting pintu sekuatnya.

Aku berlari kembali ke kamar.Sekilas ku lihat Bibi lekas membuka pintu itu kembali,mengambil alih Tuannya dari tangan si wanita.

Aku muak !

Ada alasan kenapa aku memutuskan pisah ranjang.Meski aku sadar,aku jauh lebih kotor dibanding wanita tadi.Tapi sungguh,aku jijik bersentuhan dengan manusia yang menghancurkan kebahagiaanku.

"EBI ?!"

"FEBRIANTI !!!"

Suaranya melengking.Seketika,tubuhku gemetar mendengar gedoran pintu yang sudah lebih dulu ku kunci.

"Ebi ? buka nggak ?"

Meski dia mabuk berat,dan aku dalam keadaan sadar,sudah pasti tenagaku tak akan cukup untuk melawannya.Masih teringat jelas diingatanku bekas-bekas lebam membiru itu,luka bakar api rokok layaknya aku asbak,dan sobekan dibagian bibir hasil karya tangan lebarnya ditubuhku.

Bunyi tamparan itu,jambakkan dan tendangan yang hampir membuatku patah tulang tempo dulu.Meski belakangan ini kulitku sudah jarang merasakan perih,tapi tidak dengan hatiku.Bagian paling dasar hatiku jauh lebih perih menerima kenyataan,hingga saat ini aku masih hidup dengan pria yang toxic.

Minimnya dukungan keluarga,menjadikanku sulit melepaskan diri dari kukungan si monster.Aku bertahan,masih dengan alasan "anak" ! Lagu lama itu kadang membuatku mengasihani diri sendiri,berjuang sendiri,dan membalut luka sendiri.

Memang benar,dua puluh tahun yang lalu Rere dan adiknya masih membutuhkan peranku sebagai ibu karna masih kecil.Kadang aku sudah menyerah dan pasrah jika mereka berdua akan memiliki ibu baru,tapi lagi-lagi takdir yang berkuasa.

Rere memintaku bertahan dengan Ayahnya,tak mengapa aku menikah lagi dengan pria lain.Asalkan,aku tidak meninggalkan mereka.

Restu itu,sudah ku kantongi.Dan aku,tidak butuh saran ataupun pendapat siapapun termasuk orang tuaku.

Aku,bahagia tapi...masih terkurung nestapa.

Bersuami duaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang