Setelah mobil taxy yang ku tumpangi pergi,suara bising dari dalam sana tiba-tiba merusak ketenanganku.lamat-lamat terdengar musik dugem yang membaur dengan gelak tawa.
Firasatku mulai tidak enak,aku merengsek masuk.Ku dapati dia-si brengsek dan teman-temannya sedang mabuk-mabukkan diruang tengah.Botol-botol kosong,kulit kacang dan bekas kemasan kripik bertebaran dimana-mana.
Aroma alkohol menguar.Ini bukan yang pertama.Aku tidak kaget,tapi muak !
Dia menyadari kedatanganku.Ia lekas memasang tampang bersalah.Selalu seperti itu setiap ku pergoki.Segumpal sakit selalu hadir setiap kali melihatnya seperti itu.
Aku bukannya tak peduli,tapi capek !
Aku sering memperingatkannya,tapi sesering itu juga dia mengulanginya.Aku beranjak dari tempat itu,berlari ke kamar.Dia menyusul,tapi tentu saja pergerakanku jauh lebih gesit dibanding orang setengah mabuk.Aku tak ingin mendengar apapun yang dikatakannya.Bosan !
Punggungku menempel didaun pintu yang baru saja ku banting,kemudian merosot seiring air mata yang tak mampu lagi ku bendung.
Dia memanggil-manggil sambil mengetuk pintu.Aku tak peduli.Dia semakin liar melakukan apapun yang dia suka.
Kenyataan ini yang membuatku seperti depresi.Orang-orang mana tau bagaimana caraku melakukan sesuatu untuk menghalau rasa sedih bercampur amarah.
Aku mengerti perasaan anak-anak,karna akupun merasakan bias luka itu.Sekali lagi anak tidak bersalah menaruh penilaian buruk terhadap orang tua.Kamilah yang keterlaluan.
Sebenarnya aku sedih melihat-dia,tapi dia pantas mendapatkannya.Setelah dulu ku eluh-eluhkan sebagai suami terbaik sedunia didepan keluarga dan teman-teman,nyatanya dia memendam kebohongan besar.Kenyataan yang menanamkan luka abadi dihatiku.Terlebih,dihati anak-anakku hasil pernikahanku dan-dia hampir 27 tahun.
Aku menuruni tangga berpengangan pada railling yang masih menyimpan sisa dingin tadi malam.Anak tangga itu ku lalui dengan capat.Tiba dianak tangga terakhir,aku menoleh kekamar-dia tertutup rapat.Entah dia ada didalam atau tidak,aku tidak peduli.
Soal keberangkatanku ke Bandung,aku tidak perlu pamit.Dan itupun juga,dia tidak boleh tau.Lagian,aku menghilang berapa lamapun baginya tak masalah.
Ku dapati Bibi sedang mengepel diberanda,membersihkan ceceran noda yang dari baunya sangat ku kenali.Bekas muntahan-dia.Berarti,dia ada didalam kamar tadi,tapi dalam keadaan tidak sadar dan baru saja merepotkan Bibi dengan muntah sembarangan.
Lagi-lagi ia pulang pagi,entah diantar oleh siapa aku lupa menghitung wajah-wajah yang sering ia temani muncul didepan pintu dalam keadaan berantakan.
Hal ini menepis getar-getar halus yang membuat senyumku mengembang sejak tadi malam saat menerima kiriman chat dari anakku yang di Bandung,berganti genangan bening ditepian mata.
Menyadari kehadiranku,Bibi lebih gesit membersihkan ceceran noda itu,memastikan baunya tidak sampai kehidungku.Entah ia terlalu patuh pada si Tuan rumah,atau sangat menjaga perasaanku.
Perempuan bertubuh gempal dengan rambut yang mulai memutih beberapa helai itu bekerja pada kami sudah sangat lama.Seluk beluk permasalahan rumah tanggaku dia tahu betul.
"Ibu udah mau berangkat ?"
Seperti pertanyaan barusan,dia sudah hafal jadwal kapan aku harus ke Bandung.Bibi salah satu orang yang sangat mengetahui soal keluarga keduaku disana.Beliau tidak banyak komentar saat mengetahui fakta itu.Dia saksi mata bagaimana aku terseok-seok dulunya saat dibantai habis-habisan oleh ketidak adilan si Tuan rumah yang gila itu.
Bibi satu-satunya orang yang tidak pernah menghakimiku memutuskan untuk poliandri.
"Iyah Bi...aku berangkat dulu yah ?"
Aku beranjak sebelum air mata menetes didepan wanita berdaster tadi.
