Seminggu berlalu,keadaan semakin memanas antara aku dan si bajingan itu.Sudah seminggu juga dia pindah ke rumah Ibunya.Aku bisa merasakkan damai dan tenang.
Rupanya,begini rasanya menjadi calon janda.
Tidurku mulai nyaman,dan keseharianku mulai lepas.Aku melakukan kegiatan lebih leluasa meskipun sesekali masih banyak menerima pesan-pesan dari beberapa orang yang datang kepadakau,yang dia minta untuk membujukku.
Tapi,tak kalah banyak juga orang-orang yang sangat mendukung keputusanku.Disamping itu,aku tidak melarutkan amarahku.Aku tetap berjualan sembari mengurus Mama.
Semua orang yang ku temui tak lupa ku pesan untuk menutup kejadian ini dari telinga Mama.Jangan sampai beliau tau.Karna sudah pasti,beliau akan kambu lagi.
Aku sudah sangat berusaha mengurus Mama,beraktifitas seperti tidak ada yang terjadi.
Namun naas,rupanya setelah aku sempat pulang ke Bandung selama empat hari,Mama telah mengendus kejadian itu.Aku dimintai Papa untuk datang ke rumah mereka karna Mama drop lagi.
Aku sudah mewanti-wanti,cepat atau lambat Mama pasti akan mengetahuinya.Akupun pulang,dengan alasan kepada Papa aku ada pelatihan di kota.
Mama drop,membuat sekujur tubuhku terasa tak bertulang.Tubuh lemahnya terbaring di ranjang-lagi,tapi kali ini sudah dengan kompres yang menempel di dahinya.
Sekuat tenaga ku tahan suara getarku yang nenahan tangis.Ada Papa,Rere,Zahra,adik laki-lakiku dan si bajingan busuk !
Tapi aku tidak peduli,aku duduk disamping Mama mengganti kompresnya.Bisa ku rasakan,badan beliau begitu panas.
Ku tatap bergantian Papa dan Bima,mereka hanya bisa menunduk sedih.Rahangku mengeras,menahan sesaknya yang mendera.
Sesekali,Mama mengigaukan namaku dan nama si bajingan.Membuatku ingin membunuh laki-laki itu.
Ini pasti ada yang mengadu.Aku yakin itu...
"Ini Ebi Mah..."
Ucapku melipat bibir yang bergetar.
"....Mah,kita ke RS yah ?...."
Bisikku di telinganya.Tapi respon beliau,tetap sama.Menggeleng menolak.
"....Lakukan apapun buat Mama kecuali membujuk Mamah ke rumah sakit...."
Ya Tuhan....
Sungguh,aku tidak sekuat itu.
Bahkan jemariku saja gemetar ketika menempelkan kembali kompresan di dahinya.
Papa menggeleng,tanda aku harus menurut.
Alasan Mama,aku paham.
Tidak lain tidak bukan adalah biaya,dan tak mau merepotkan kami semua.
Yang ku lakukan hanyalah menghela nafas berat dan memejamkan mata.
Tuhan,seberat inikah cobaanmu ?
Aku tidak menganggap ini sebagai beban,tapi tidak bisa ku pungkiri bahwa ini sungguh mencekikku.
Aku berubah menjadi tulang punggung keluarga,menjalani kemelut rumah tangga yang berantakkan,juga tugas sebagai anak sekaligus ibu yang harus aku lakoni.
Andai psikolog tidak mahal,akan ku bayar asal depresiku tidak mempengaruhi batin Mama.
Dua hari berlalu,kami tetap merawat Mama di rumah.Cara yang sama lagi ku lakukan,pasang infus karna Mama sulit menelan makanan. Parahnya, meski itu bubur.
Beberapa keluarga sudah berdatangan menjenguk,karna biar bagaimanapun keluarga pantas mengetahui keadaan Mama yang sudah sangat memprihatinkan.
Setiap mereka berbicara pribadi kepadaku soal Mama kenapa tidak diambil tindakan rawat inap di RS,ku sampikan pesan Mama yang tidak mau dirawat dimanapun selain di rumah sendiri.