266 hari, itu tandanya Cookies sudah berusia 9 bulan lebih dua minggu.
Sedari tadi Cookies terus menangis, badannya greges. Demam.
Salma sedikit lebih tenang karena sudah terbiasa dan belajar dari fase sakit-sakit sebelumnya. Iya, Cookies sedang sakit pintar. Sakit untuk menambah kepintaran. Umumnya bayi seperti itu bukan?
Rony yang baru pulang bekerja pun ikut membantu, namun mandi lebih dulu.
Takut jika membawa penyakit dari luar. Iya, karena kuman tidak terlihat bukan? Meskipun Rony bukan bekerja di tempat yang kotor. Tetap saja debu dan asap polusi udara menempel pada tubuh pun bajunya. Hanya berjaga-jaga. Terlebih Cookies sedang rewel-rewelnya.
"Ya...ya, yah..." Cookies mengulurkan kedua tangannya, sambil menangis terisak meminta ayahnya yang menggendongnya.
Rony yang baru mandi langsung mengambil alih putranya dari gendongan Salma.
Bayi menginjak usia sepuluh bulan itu sudah pandai berkacap, meski tidak lihai. Kata pertamanya 'Yah' setelah itu 'Buh' seharusnya 'Bun' namun lidahnya masih kelu.
Tapi...
"Ka...ka...ya, yah..." bayi itu berceloteh, namun masih terisak. Ia melahap tangannya sendiri.
Rony menahan tangannya, "Cookies, tangannya kotor. Jangan di mam ya." ujarnya, melarang dengan lembut.
Rony merubah posisi gendongannya, Cookies memeluk lehernya, sedangkan Rony menepuk dan mengusap punggungnya sambil menggoyangkan tubuh kesana kemari. Berharap bayi itu meng-usaikan tangisnya.
"Ka...ka...ka..." celotehnya lagi, perlahan tangisnya reda. Wajahnya bertumpu pada bahu ayahnya. Miring, membuat pipi gembul yang sedang menirus itu terganjal.
Rony mengusap punggung kecil itu dengan lembut, masih sedikit dipuk-puk.
Salma menghela napas, akhirnya...
Sedari tadi Cookies rewel, mana menjelang maghrib pula.
Rony membawa Cookies ke kamar mereka, semenjak rewel Cookies ikut tidur bersama mereka. Tidak dikasur pribadinya lagi.
Salma mengekor dibelakang, Rony meletakan putranya dengan hati-hati. Lalu Salma mengambil dua bantal guna mengapit kedua sisi tubuh putranya.
Mereka duduk bersebrangan, menatap objek yang sama. Cookies yang tengah terlelap dengan matanya yang masih basah.
Rony mengusap pipinya dengan jari telunjuk. Hangat.
"Cookies badannya anget, Ca."
Salma mengangguk, "Biasa, sakit mau pinter." Salma jauh lebih tenang, belajar dari kejadian sebelumnya.
Meski begitu pengobatan tetap dilakukan, baik herbal maupun resep dokter. Ah, Salma lebih memilih mengupayakan kesembuhan putranya melalui cara herbal. Terlebih Cookies sudah bisa makan nasi. Salma sering membuatkannya sup, katanya bagus untuk meringankan sakit. Seperti pusing, flu, demam dan lainnya. Tentunya dengan di bantu asi.
Salma mengambil plester demam dilaci nakas. Ia tempelkan pada kening putranya, sambil merapalkan doa dalam hati. Berharap kesembuhan tentunya.
"Ca."
Salma menatap lelakinya, semula ia sedang mengusap rambut putranya.
"Hm?"
"Cookies baik-baik aja kan?" lelaki itu memang lebih riweh jika Cookies sedang sakit.
Mungkin karena tidak sepenuh waktu menemani, jadi sedikit khawatir dan kehilangan momen perkembangan putranya. Wajar, lelaki Salma itu sibuk bekerja.
Salma yang kegiatannya lebih santai dan memang full mengurus rumah tentunya lebih paham mengenai keadaan putra mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi Switzerland (END)
Genç Kurgu#Karya 4 [Romance Funfiction] Sequel You're SPECIAL ●○●○●○●○ Switzerland is a dream country bagi seorang gadis untuk melanjutkan pendidikannya disana, namun orang tuanya melarang jika ia hanya pergi seorang diri. Jalan pintasnya adalah ia dinikahkan...