55 Akad dan Itikad

3K 321 151
                                    

Pernah melihat sesuatu yang indah dibalik mendung? Iya, pelangi! Itu yang Rere rasakan saat ini. Langit hatinya kelabu namun ada semburat pelangi yang indah mewarnai langit kelabu itu.

Hatinya separuh, ada bahagia juga duka.

Para perias baru saja keluar, pukul sembilan pagi nanti akad digelar namun sampai pukul delapan kurang ini tak ada kabar kakaknya bangun dari pingsan. Masih memejam, entah sampai kapan akan tertidur.

Rere menatap dirinya dari pantulan cermin. Sudah cantik, seperti pengantin. Namun sorot matanya sendu.

Rere mengambil bingkai foto. Potret keluarganya yang ia pajang dimeja riasnya, berukuran sedang.

Disana ia pun kakaknya tersenyum begitu ceria, ayah ibunya duduk disofa. Mereka berdiri, Rere merangkul ayahnya sedangkan Rony merangkul ibunya. Terlihat sangat cemara.

Rere mengusap bingkai kaca itu, ia menengadah menghalau air mata.

"Seharusnya Ayah kan yang nyaksiin Adek nikah hari ini? Tapi Ayah gak bisa ya? Terus, Abang juga gak bisa. Adek sebenernya gak mau nangis ta-"

Rere menghela napas, menariknya panjang. Menghalau tangis. Dipeluknya bingkai foto itu, ia memejam.

"Ayah, jangan ajak Abang pergi." lirihnya.

●○●○●○●○

Sedangkan Salma tak bergairah sama sekali, ia sudah mandi. Baju yang ia siapkan untuk lelakinya tergantung dibalik pintu. Satu pasang dengan bajunya, seharusnya couple. Dipandangnya baju itu dengan nanar.

Lagi-lagi Salma menangis, ia mendadak cengeng gara-gara si cengeng itu. Iya, lelakinya. Si cengeng.
Salma mengusap perutnya, Cookies minim pergerakan sekali. Mungkin merasakan ibunya yang bersedih. Salma sendiri bersyukur buah hatinya baik-baik saja.

Tapi...

"Ayahnya Cookies pasti kuat. Nanti kita jenguk ya? Setelah Onty Rere akad. Cookies kangen ya sama Ayah? Makanya nanti Cookies bangunin ya? Bilang sama Ayah, 'Ayah jangan tidur terus, Cookies kangen tau'. Ya, Nak?" suara Salma semakin parau, ia mengambil baju yang tergantung itu. Dipeluknya, seolah memeluk lelakinya.

"Mas, harus kuat. Sebentar lagi Adek nikah, kalau kamu gak bisa nyaksiin seenggaknya aku hadir bisa jadi saksi buat Adek. Kamu baik-baik ya, cepet bangun. Kalo gak bangun aku gak mau jengukin ya!" Salma berbicara sendiri, persetan orang menganggapnya gila.

Tak sadar, Rengganis justru mendengar celoteh menantunya itu. Ia hendak mengajak Salma keluar, namun terhenti didepan pintu kamar putranya, memilih mendengarkan celoteh Salma didalam kamar putranya itu.

Lagi-lagi air mata itu jatuh, bukan air mata haru. Tapi sedih.

Pintu ia buka lebih lebar, "Nak..."

Salma membuka matanya, menghapus air matanya cepat dan tersenyum tipis. Ia menaruh baju lelakinya kembali digantungan. Menatapnya sebentar, seolah berkata. Seharusnya kamu dipake hari ini.

"Kita liat Rere yuk, Bund." ah, suara itu terdengar baik-baik saja. Tapi pura-pura, Rengganis tahu itu.

Salma tersenyum seolah baik-baik saja, tidak mau memperburuk suasana ditengah hari bahagia adik iparnya.

"Nak..."

Salma tersenyum lebih lebar, mengungkapkan seolah dirinya baik-baik saja. "Salma gakpapa kok, Bund. Mas Rony lagi bobo, nanti kalo udah akad Rere Salma bakal bangunin Mas Rony." ujarnya, nada ceria. Tersenyum palsu yang membuat Rengganis kelu.

Ia memberi senyum walau hatinya pun menjerit sakit, buah hatinya, anak pertamanya. Rony, tentunya sangat berkesan dihatinya.

"Nanti kita bangunin bareng-bareng ya?"

Hi Switzerland (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang