Bandara internasional Zurich menjadi saksi mendaratnya kaki dan angkatnya kaki dari negara yang dijuluki negara terbersih dan terindah didunia ini.
Rony merangkul pinggang perempuannya, Salma beberapa kali menghapus air mata. Sebentar lagi mereka akan meninggalkan negara ini, negara yang menyimpan banyak kenangan baik suka maupun duka. Ada tangis dan tawa juga keringat yang melebur menjadi doa. Doa akan keberhasilan.
Dengan meninggalkan negara ini bukanlah kemenangan, mereka akan menghadapi perang yang sesungguhnya. Iya, perang dengan dunia. Dunia yang penuh persaingan baik soal materi ataupun hal lahir-iah lainnya.
Anak tangga demi anak tangga yang tersambung dengan badan pesawat mereka naiki. Salma sekuat tenaga menahan tangisnya, sedangkan Rony terlihat datar saja. Sebenarnya ia pun menyimpan tangis yang sama. Mustahil jika Rony tidak sedih. Ingat! Suami Salma itu cengeng dan sok cool, begitu ejek istrinya.
Rony menggiring Salma dari belakang, memastikan langkah pujaan hatinya tak terbentur apapun. Naluri menjaga, sebagai lelaki, suami juga calon ayah.
Kata pertama yang terucap dari mulut mereka saat pertama kali menginjakkan kaki dinegara ini masih terngiang dikepala bahkan begitu jelas terdengar.
Hi Switzerland!
Iya, Hi Switzerland! Kini, berubah menjadi Bye Switzerland!
Setiap pertemuan pasti akan ada perpisahan. Dua kata itu takkan pernah bisa dipisahkan. Sungguh! Jika manusia ingin menarik dua kubu itu pun mereka akan tetap berpegang teguh, genggaman mereka tak akan pernah rapuh bahkan saling rengkuh.
Semesta begitu indah dengan antonim dan sinonimnya, semesta indah namun juga tak abadi. Seperti pertemuan yang indah namun tak abadi jua, muaranya selalu sama. Perpisahan. Entah itu cepat atau lambat."Mas..."
"Say bye to Switzerland Bundanya cookies," tuturnya lembut memberi tatapan teduh, mengusap pucuk kepala Salma.
Satu anak tangga sebelum benar-benar masuk kedalam pesawat membuat haru biru.
Salma mengusap perutnya, "Cookies say bye to Switzerland, Nak."
Suara Salma parau, menahan tangis.
Rony pun mengusap perut perempuannya, "Cookies, saatnya kita pulang sayang. Ikut Ayah sama Bunda pulang ke Indo ya? Kita ketemu Oma, Opa sama Aunty. Cookies seneng, Nak?"
Salma mengusap air matanya, "Seneng Ayah," balasnya, meniru suara anak kecil.
Rony tersenyum haru yang dibalas serupa oleh Salma, ia mengecup pelipis perempuannya. Menyalurkan kekuatan, meski sama sedihnya.
"Masss..."
Salma tak sanggup masuk kedalam pesawat, bibirnya semakin bergetar. Tangis yang tak bisa ditahan itu keluar, mengalir dipipi menganak sungai.
Salma memang rindu tanah kelahirannya, namun meninggalkan Swiss dengan pesona musim gugur yang oranye kecoklatan ini membuat berat. Begitu indah, sayang untuk ditinggalkan. Namun hidup akan tetap terus berjalan, ini saatnya.
Saatnya untuk pulang...
Salma melangkahkan kakinya masuk kebadan pesawat sepenuhnya diiringi Rony dibelakang, mereka diarahkan ke kursi penumpang yang sudah dipesan sebelumnya.
Salma duduk disisi jendela, tepat didepannya ia melihat sayap pesawat yang membentang besar. Pemandangan yang indah namun tak seindah perasaannya. Rasanya berat, setengah hati.
Take off!
Burung besi ini benar-benar membawa mereka pulang, semakin cepat lajunya semakin deras pula air mata yang jatuh. Salma menyentuh jendela disampingnya, menatap keluar, kearah bawah. Melihat pohon-pohon musim gugur yang khas membentang luas, pegunungan Alpen pun masih bisa dilihat. Keindahan semu yang harus ditinggalkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi Switzerland (END)
Ficção Adolescente#Karya 4 [Romance Funfiction] Sequel You're SPECIAL ●○●○●○●○ Switzerland is a dream country bagi seorang gadis untuk melanjutkan pendidikannya disana, namun orang tuanya melarang jika ia hanya pergi seorang diri. Jalan pintasnya adalah ia dinikahkan...