Tiga hari berlalu, masih sama. Rony enggan membuka mata. Padahal luka lebam diwajahnya sudah memudar, tapi si empu tak kunjung sadar.
Para keluarga tak henti-hentinya berdatangan, silih berganti berjaga termasuk teman-teman. Meski Rony tak bisa dijenguk, hanya sekedar melihat dari balik kaca saja.
Dokter yang baru memeriksa diserbu oleh Salma dan Rere, mereka yang berjaga sore ini. Sebelum malam nanti digilir dengan teman atau saudara lelaki dari keluarga Rony.
"Dok, kapan Suami saya sadar, Dok?" tanyanya untuk yang kesekian kali.
Dokter lelaki dewasa itu tersenyum tipis, memaklumi.
"Dan kenapa bisa koma selama ini, Dok? Kakak saya bakal baik-baik aja kan, Dok?" Rere juga bertanya resah.
Dua perempuan itu menatap kaca, masih sama. Rony tak kunjung terbangun.
"Doakan saja ya, Mbak. Suami Mbak pasti bakal sadar kembali."
Lanjutnya menjawab pertanyaan Rere, "Penyebabnya karena luka tembak tersebut, sebenarnya keparahan luka tembak itu bisa berbeda-beda, tergantung pada bagian tubuh yang terkena, jarak tembak, dan jenis pelurunya. Luka tembak sama saja seperti luka tusuk, karena peluru menembus tubuh dengan kecepatan tinggi. Jika mengenai leher, dada, atau kepala, luka tembak bisa bersifat serius dan mengancam nyawa."
Si Dokter mengambil napas, meluruskan kalimatnya. Memberi fakta juga penenang, "Tapi, saya yakin Mas Rony kuat. Perkembangannya selama beberapa hari ini cukup baik. Semakin baik, kita doakan semoga Mas Rony bisa cepat sadar ya."
Separah itu? Salma dan Rere duduk lemas dibangku panjang didepan ruang ICU, masing-masing bertemankan pilu.
Beberapa kali pihak polisi pun menanyakan perihal kejadian perampokan itu, terutama Rony sebagai korbannya. Hanya dimintai keterangan namun si empu tak kunjung sadar.
Proses hukum sudah berjalan, para perampok tersebut tertangkap cepat. Kinerja polisi memang tidak bisa diragukan, terlebih banyak saksi juga selain Rony sendiri. Salma berharap yang terbaik saja, semoga lelakinya lekas sadar dan para penjahat itu mendapat hukuman yang setimpal.
"Kak, makan yuk." ajak Rere halus.
Beberapa hari ini Salma tidak napsu makan, padahal biasanya tak lepas dari toples cemilan bahkan sampai kelelahan hanya karena mengunyah.
Salma juga tidak melulu menangis. Ah, lebih tepatnya menangis kala sendiri saja. Ia mencoba kuat untuk lelakinya, meski tak dipungkiri hatinya begitu kelu, tatapan pun senyumnya tak seceria dulu. Kekasih hatinya merenggut keceriaan itu.
Salma menggeleng, mengusap perutnya. Cookies seolah paham orang tuanya sedang berduka, dia minim sekali bergerak, tak seaktif biasanya. Rindu dengan ayahnya.
Rere mengusap bahunya, khawatir. "Makan ya, Kak. Demi Ayahnya Cookies sama Cookies juga. Abang pasti sedih kalo bangun liat Istrinya kurusan."
Jika diberi pengertian demikian Salma hanya bisa pasrah, ia mengangguk pelan.
Rere tersenyum, "Yaudah, Rere beli ke kantin dulu ya? Kakak mau apa?"
"Apa aja."
Rere tersenyum mengerti lalu berlalu, setidaknya kakak iparnya itu mau makan. "Sebentar ya, Kak."
Salma mengangguk, lalu bangkit. Mendekat ke kaca. Memandangi lelakinya lalu mengukir bentuk I ❤ U dikaca, berharap Rony membalas ucapan cintanya. Namun, sama saja. Tak ada pergerakan sedikit pun.
"Udah tiga hari loh kamu tidur gini, Mas. Kamu gak kangen aku? Gak kangen Cookies anak kamu? Dia gak seaktif biasanya tau, Mas. Dia kangen sama kamu. Kamu kok tega gak kangen balik sama anak kamu." ujarnya, pilu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi Switzerland (END)
Teen Fiction#Karya 4 [Romance Funfiction] Sequel You're SPECIAL ●○●○●○●○ Switzerland is a dream country bagi seorang gadis untuk melanjutkan pendidikannya disana, namun orang tuanya melarang jika ia hanya pergi seorang diri. Jalan pintasnya adalah ia dinikahkan...