46 World Manipulation!

3.3K 347 128
                                    

"Bu, Salma susul Mas Rony dulu."

Siska mengangguk, "Iya. Bikinin kopi sekalian, Nak. Kayaknya Suami kamu lagi banyak pikiran."

Salma mengangguk, ia pun berpikir demikian. Rony sepertinya sedang tidak baik-baik saja.

Salma membuatkan secangkir teh hangat lebih dulu, sengaja agar Rony lebih relaks pikirnya.

Meski studi mengatakan bahwa kopi lebih tinggi antioksidan yang berguna untuk menurunkan kadar stress. Mau teh atau kopi menurut Salma sama saja, tapi Salma akui ia lebih condong pada teh. Ah, manusia beragam selera bukan?

Begitu sampai dikamar Rony langsung meringkuk, tengkurap diatas kasur. Perasaannya masih kesal tak karuan, ia bingung mendeskripsikannya.

Rasanya ingin marah meluap-luap, tapi setelah dipikir-pikir, untuk apa? Merutuki diri? Sepertinya iya.

Salma membuka knop pintu perlahan, mendorong pelan. Pemandangan pertama yang dilihatnya adalah lelakinya yang sedang tengkurap diatas kasur.

Salma berjalan perlahan, menaruh teh hangat itu dinakas. Lalu merapikan jaket, tas juga sepatu Rony yang tergelak dilantai lebih dulu.

"Mas..." Salma mengusap rambut Rony setelah duduk dikasur, tepat disamping lelakinya.

Rony bergeming malah memejamkan mata posisi kepalanya membelakangi Salma, menoleh kearah lain.

Salma mengusap rambutnya lagi, turun kepunggung. Rony masih setia bergeming, "Mau peluk?" tawarnya.

Peluk?

Tawaran yang sayang untuk ditolak, Rony langsung bangkit. Salma menyambutnya dengan rentangan tangan, "Caaa..." rengeknya.

Rony langsung memeluk Salma. Menyembunyikan wajahnya didada perempuannya. Mendusel disana, mencari tempat ternyaman.

Salma mengusap rambutnya, lagi. "Sayang kenapa?" tanyanya, lembut.

Sebenarnya Salma geli. Bukan, bukan geli karena ia bertutur lembut tapi geli karena ulah Rony.

Rony tak menjawab, Salma membiarkannya lebih dulu. Barangkali Rony hanya butuh pelukan saja? Mungkin nanti lelaki itu akan bercerita dengan sendirinya.

Salma mengusap-usap punggung Rony dengan sayang, memberi tenang. Rony menoleh kekiri, menyandarkan pipi masih ditempat yang sama.

"Ca, gagal." adunya, sedikit manyun.

"Kok bisa? Emang hasil interview-nya langsung gitu?"

Rony menggeleng pelan, "Gak jadi interview," ungkapnya.

Salma terkejut, tapi ia tak merutuki pun tak menyalahkan Rony.

"Kenapa?" ia mencari apa alasan Rony, atau mungkin perusahaan itu tidak cocok untuk lelakinya?

"Gara-gara telat," ungkap Rony, lagi. Dengan nada lesu kali ini.

Salma menghela napas pelan, ia mengusap punggung Rony lagi, "Gakpapa, gak boleh sedih. Nanti coba lagi ya?" ujarnya lembut berusaha selalu memberi tenang, tidak menghakimi.

Salma pikir Rony juga sudah memperjuangkannya, kadang tidak semua yang diinginkan bisa didapatkan. Kegagalan itu manusiawi, hal yang wajar. Tak perlu dirutuki, tinggal coba lagi.

"Aku cuma telat lima belas menit, tapi gak ada toleransi sama sekali." gerutunya.

"Kebijakan perusahaan memang beda-beda, kayaknya disana tingkat disiplinnya tinggi. Gakpapa, jadiin pembelajaran lain kali biar bisa lebih on time."

Lama tinggal di Swiss justru sekaligus membentuk pribadi mereka menjadi manusia yang lebih disiplin dengan waktu, namun Salma juga tahu jika Rony tahu sedari jauh-jauh soal pesan email panggilan interview kerja itu lelakinya akan selalu tepat waktu. Dasarnya memang bukan rezeki, terus mau apa?

Hi Switzerland (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang