30

1.6K 95 0
                                    

"Bi, nitip Bian ya? Kalau dia bangun sebelum saya pulang, bilang aja saya lagi keluar sebentar " Ucap Vivy kepada salah satu asisten rumah tangganya.

Setelah memastikan Bian terlelap dalam tidurnya, Vivy memutuskan untuk mengunjungi markas dan memberi pelajaran pada bajingan itu.

Vivy sudah menahan dirinya sejak tadi, jadi sekarang ia ingin segera melampiaskan amarahnya.

Mobil yang dikendarai Vivy terparkir sempurna di depan sebuah rumah bertingkat dua yang sangat besar.

Jika di lihat dari luar, rumah ini nampak seperti rumah-rumah lainnya, namun begitu memasuki bangunan itu, kesan pertama yang dapat di lihat adalah bangunan kosong.

Rumah yang sengaja di desain sebagai markas oleh Vivy hanya terdapat beberapa tempat latihan untuk anak buahnya, dan juga kamar sebagai tempat istirahat. Tidak ada ruang tau dengan berbagai interior seperti selayaknya rumah.

Bagaimanapun yang tinggal di rumah ini tidak kurang dari 50 orang, jadi meskipun bangunannya luas, sebagian besar digunakan sebagai kamar tidur, selebihnya dipakai untuk latihan dan meningkatkan kemampuan penghuni di sana.

Jika di telusuri lebih dalam, akan ditemukan sebuah pintu rahasia yang menuju ruang bawah tanah, dimana itu adalah tempat Vivy mengurung hasil tangkapannya.

Seperti saat ini, Vivy berjalan di lorong bawah tanah yang akan membawanya menuju tempat dimana ia bisa melampiaskan amarahnya.

Ruang bawah tanah miliknya di bagi menjadi 2 tempat, sisi kanan sebagai penjara, sedangkan sisi kiri sebagai ruang penyiksaan.

Vivy menghentikan langkahnya tepat di depan sebuah sel yang didalamnya ada pria itu.

Bajingan yang sudah menculik Bian!

Justin yang merasa diperhatikan langsung memusatkan atensinya pada gadis itu. Matanya menajam namun juga ada tanda tanya dalam tatapannya.

"Vi? Kenapa gue dibawa kesini? " Justin menolak sadar meskipun ia sudah tau pasti alasan Vivy membawanya kemari.

"Masih nanya? " Tanya Vivy dingin.

"Lo gak mungkin kan bawa gue ke sini demi bocah itu? "

"Buka kuncinya! " Vivy memerintahkan anak buahnya yang memegang kunci sel di depannya.

"Kalau iya, gimana? " Vivy masuk ke dalam berjongkok di depan Justin yang terduduk di lantai.

"Ta-tapi lo bilang kalau lo gak suka sama bocah ingusan itu?! " Justin sedikit terintimidasi oleh tatapan Vivy yang menatapnya tajam.

"Dan lo percaya? " Tanya Vivy dengan smirk nya, kemudian ia terkekeh melihat kebodohan Justin.

"Lo bohongin gue? " Justin tak percaya harapan yang diberikan Vivy padanya tadi hanya sebuah kebohongan.

Ia terlanjur menyerahkan seluruh hatinya pada gadis itu, dan mengetahui usahanya tidak berarti apa-apa bagi Vivy sungguh membuatnya sakit.

"Gue udah sering bilang, kalau gue gak cuka sama lo, tapi lo dengan beraninya nyakitin orang yang paling gue jaga? Menurut lo gue akan berbaik hati? " Tanya Vivy sarkas.

Justin menundukkan kepalanya, ia tidak menyangka jika Vivy benar-benar menyukai bocah itu.

Ia sudah mengirim mata-mata di mansion mereka, tapi orang itu bilang bahwa Vivy tiba-tiba dijodohkan dengan Bian karena orang tuanya akan ke Korea untuk waktu yang lama, jadi mereka menyerahkan tanggung jawab Sepenuhnya atas Bian kepada Vivy.

Saat mengetahui hal itu, tentu Justin tidak terima gadis yang sangat ia cintai dan sudah ia kejar begitu lama, harus menerima perjodohan tiba-tiba itu, jadi ia memutuskan untuk menculik Bian sebagai peringatan agar melepaskan Vivy.

"Kenapa diem, hah?! " Sentak Vivy karena Justin mengabaikannya.

Plak

Sebuah tamparan ia layangkan kepada pria didepannya.

Namun Justin hanya diam, bagaimanapun yang menamparnya adalah orang yang sangat ia cintai, mana mungkin ia membalasnya.

Sebodoh itu memang, tapi Justin sungguh tidak bisa menyakiti Vivy, apalagi ia menyadari jika yang ia lakukan memang salah.

Jika saja ia mengetahui bahwa Vivy mencintai suaminya, mungkin penculikan itu tidak akan terjadi.

Ia akan berusaha merelakan Vivy jika suaminya bisa membahagiakan gadis itu.

Kini Justin merutuki kebodohannya yang telah bertindak sembarangan dan menyebabkan Vivy semakin membencinya.

"Maaf " Hanya itu yang bisa ia ucapkan, meskipun ia yakin Vivy tidak akan pernah memaafkannya.

"Cih " Gadis itu berdecih mendengar permintaan maafnya, benar saja, mana mungkin Vivy semudah itu memberinya maaf.

Vivy berdiri dari posisi jongkoknya, ia memerintahkan anak buahnya untuk memberikan pelajaran pada Justin.

Bukan tidak ingin menyiksanya sendiri, lebih ke tidak ingin mengotori tangannya.

Justin hanya pasrah ketika dua orang berbadan besar menyeret tubuhnya dan membawanya ke ruangan lain, dimana terdapat beberapa benda tajam di salah satu dindingnya.

Vivy hanya menatap datar anak buahnya menyiksa Justin yang terlihat tidak berdaya. Pria itu hanya diam agar Vivy tidak semakin membencinya.

"Iya bi? " Vivy mengangkat telepon yang ternyata dari orang rumah.

"Tuan muda mencari Anda, nona. Saya sudah bilang bahwa Anda sedang keluar sebentar, tapi tuan muda bersikeras menunggu Anda di teras dan tidak mau masuk ke dalam "

"Beri tahu Bian saya akan segera pulang "

Justin yang mendengar itu hanya bisa tersenyum miris.

'Maaf Vy, semoga lo bahagia ' Ucapnya dalam hati sambil menatap kepergian Vivy.

Rasa sakit di tubuhnya sudah tidak bisa ia rasakan, rasanya ia benar-benar sudah mati rasa setelah menerima banyaknya pukulan dari anak buah Vivy.

Di sisa-sisa kesadarannya, Justin mengingat kembali pertemuan pertamanya dengan Vivy yang membuat dirinya langsung jatuh cinta pada gadis itu.

"Lo sakit? " Justin yang merasakan sakit pada perutnya, menoleh ke arah gadis yang barusan bertanya padanya.

Gadis itu memakai baju yang sama dengannya, berarti dia juga mengikuti ospek sepertinya.

"Gue bilangin panitia dulu ya? " Tawar gadis itu.

"Gausah, gue cuma telat makan aja,tadi belum sarapan " Jawab Justin jujur.

"Yaudah, nih makan aja roti gue " Gadis itu menyerahkan roti yang ada di tangannya.

"Gapapa? "

"Udah ambil aja, daripada lo sakit kan? " Akhirnya Justin mengambil roti itu dan mulai memakannya.

"Nama lo siapa? "

"Vivy, kalau gitu gue pergi dulu " Gadis itu pergi dari sana tanpa tau bahwa Justin sudah menaruh hati padanya.

"Vivy? " Gumam Justin sambil menatap kepergian Vivy.

Sejak saat itu Justin selalu berusaha untuk mendekati Vivy, ia yang tidak pernah merasakan jatuh cinta, kini menanamkan seluruh cintanya pada gadis itu.

He is Mine (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang