48

979 64 0
                                    

Begitulah cerita yang mengalir dari mulut wanita itu. Dan semua orang yang mendengarnya tak kalah terkejut dari Vivy, mereka menerka-nerka apa yang akan dilakukan sang presdir untuk mengatasi hal ini.

Meskipun tangannya tetap mengusap lembut punggung Bian, namun rahangnya mengeras dengan tatapan menajam, menunjukkan bahwa suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja.

Tanpa mengucapkan apapun, Vivy mengganti pelukannya dengan merangkul lengan Bian, mengajaknya keluar dari ruang rapat menuju ruangannya.

Vivy duduk di sofa yang tadi ditempati Bian, disusul pria itu yang duduk di pangkuannya, Vivy tidak menolak, karena posisi Bian tidak sampai menekan perutnya, jadi menurutnya tidak masalah.

Tangannya terulur untuk mengusap pipi Bian yang basah oleh air mata, setelah itu mengecup kedua kelopaknya yang sembap setelah menangis.

"Jangan nangis lagi, hm? Gausah di dengerin omongan mereka " Ucap Vivy sambil menyandarkan kepala Bian di bahunya, lalu mengusap kepalanya perlahan.

"Ivy jangan percaya sama yang di gosipin mereka, Bian gak pernah kayak gitu " Lirih Bian setelah menghentikan tangisnya, namun masih ada beberapa isakan kecil yang tersisa.

"Iyaa Ivy tau, Bian gausah dengerin gosip-gosip kayak gitu, mereka cuma asal ngomong dan gak ngerti apa-apa tentang Bian "

"Kok mereka jahat banget sih Vy, padahal Bian gak pernah nyakitin mereka, tapi mereka sampai ngomongin hal-hal kayak gitu tentang Bian " Mendengar nada sedih yang terlontar dari mulut Bian membuat kilat kemarahan terlintas di mata Vivy, namun dia menahannya setidaknya sampai Bian merasa lebih baik.

"Mungkin mereka iri sama Ivy, karena suaminya Ivy adalah suami terbaik didunia, jadi mereka iri karena gak bisa dapet yang kayak Bian, makanya mereka ngomong kayak gitu " Ucap Vivy lalu tersenyum sambil menatap teduh suaminya.

Ucapannya memang untuk menghibur Bian, namun menurutnya Bian memang suami terbaik untuknya, dan Vivy sangat bersyukur kepada Tuhan atas kehadiran pria itu di hidupnya.

Hadiah terbaik yang Tuhan kirimkan untuknya, Vivy berjanji akan menjaganya sepenuh hati, dan dia tidak akan membiarkan masalah-masalah kecil seperti hari ini sampai membuat suaminya larut dalam kesedihan.

Mendengar ucapan Vivy membuat Bian merona malu, meskipun hanya ucapan penghibur, namun itu benar-benar memperbaiki suasana hatinya, meskipun tidak sebaik di awal.

"Mulai sekarang, kalau ada yang ngomongin Bian lagi, gak usah di peduliin, kalau nggak Bian boleh ngelawan dan tunjukin kalau Bian gak bisa di tindas, oke? " Bian menegakkan tubuhnya lalu mengangguk singkat sebagai jawaban.

"Masih sedih? " Tanya Vivy.

"Sedikit " Jawab Bian jujur.

"Yaudah, Bian mau apa biar gak sedih lagi? " Siapa tau Bian menginginkan sesuatu agak melupakan kejadian barusan.

"Bian gak pengen apa-apa, Ivy lanjutin lagi aja rapatnya, tadi kan keganggu sama Bian? "

"Gausah, Ivy mau nemenin Bian aja " Vivy menggelengkan kepalanya lalu mengalungkan tangannya di leher Bian.

"Nggak, nggak, nggak pokoknya Ivy harus lanjut kerja, Bian gak mau di temenin, Bian udah gede "

Ucap Bian sok menasehati Vivy, tapi kalau dilihat-lihat lucu juga, bayangin aja Bian ngomong kayak gitu tapi posisinya masih di pangku Vivy.

"Udah gede kok nangis " Ejek Vivy sambil menoel hidung Bian.

"Biarin " Ucap Bian sebelum menjulurkan lidahnya ke depan.

"Trus Bian mau ngapain kalo Ivy kerja? " Tanya Vivy sesaat kemudian.

"Bian mau menyelesaikan masalah yang belum selesai " Vivy tertawa mendengar ucapan Bian yang sok dewasa itu, apalagi ekspresinya dibuat-buat sok misterius, sangat bertolak belakang dengan wajah polosnya yang manis.

He is Mine (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang