Pagi ini Retta dan Varo kembali ke rumah sakit untuk menjaga Bian menggantikan Vivy. Setelah kedatangan mereka, Vivy langsung pergi dari rumah sakit dengan setengah anak buahnya, sedangkan yang setengahnya lagi menjaga ruang rawat Bian atas perintah gadis itu.
"Yah... Bian kok belum bangun? bunda kangen " Retta menggenggam tangan Varo yang berada di pundaknya.
"Sabar bun.. Kita doakan saja supaya kondisi Bian cepet pulih" Varo mengusap sayang puncak kepala istrinya. Ia juga berharap putranya itu segera sadar, tapi ia harus tetap kuat agar bisa menjadi sandaran untuk istrinya.
Retta hendak menggenggam tangan Bian saat ia menyadari pergerakan kecil pada jemari putranya.
"Yah, ayah lihat kan? " Tanya Retta semangat, ia menatap Varo penuh binar dan dibalas senyum lega oleh pria itu. Ia juga melihat jari Bian yang sedikit bergerak.
Beberapa saat kemudian, kelopak mata yang sedari kemarin tertutup kini mulai terbuka.
Retta sangat bahagia melihat putranya telah sadar, begitu juga dengan Varo yang tak kalah bahagia.
Orang tua mana yang tidak khawatir melihat anaknya terbaring di rumah sakit, namun kini kekhawatiran itu sedikit terangkat saat anak mereka telah membuka matanya.
Namun, kebahagiaan mereka nampaknya hanya bertahan sesaat karena Bian langsung histeris ketika Retta mencoba memeluknya.
"Pergi!! Jangan sakiti Bian!! " Teriak Bian mengagetkan Kedua orang tuanya, terutama Retta yang tubuhnya langsung terdorong oleh anaknya itu.
"Bian, ini bunda? Bian gak mau peluk bunda? " Retta mulai mendekati Bian dengan air mata yang mulai lolos dari tempatnya.
"Nggak!! Bian mohon jangan sakitin Bian, hiks, Vy... tolongin Bian, tubuh Bian sakit.. hiks, hiks" Bian mulai terisak membuat hati Retta sakit melihatnya.
Kenapa anaknya menjadi seperti ini? ada apa dengan Bian?
Varo yang masih berpikir rasional langsung memencet tombol di sebelah brankar Bian untuk memanggil dokter.
"Bian, ini bunda sayang... " Tak menyerah, Retta semakin mendekat ke arah Bian mencoba memeluk putranya.
"Nggak!! jangan dekati Bian!! Kalian pergi!! " Bian mendorong Retta hingga wanita itu terhuyung ke belakang, untung saja ada Varo yang dengan sigap menangkap istrinya, jika tidak wanita itu pasti akan terjatuh dan membentur lantai.
Tak lama kemudian, dokter dan beberapa perawat memasuki ruangan Bian dan melihat kekacauan yang terjadi.
Bian menangis histeris sambil memeluk tubuhnya sendiri, ia terus memanggil-manggil nama Vivy untuk meminta tolong.
Pria itu kembali histeris saat dokter dan beberapa perawat mencoba mendekatinya.
"Bian gak mau ikut kalian!! Pergi!! " Teriak pria itu sambil menatap takut pada semua orang. Ia berusaha menghindar setiap kali ada yang mencoba menyentuh dirinya.
Menghadapi masalah seperti ini dokter itu tidak mempunyai pilihan lain selain menyuntikkan obat bius untuk menenangkan Bian.
Akhirnya Bian kembali tak sadarkan diri setelah obat biusnya mulai bekerja.
Varo menenangkan Retta yang terus menangis dalam pelukannya. Ia juga bertanya kepada dokter mengenai kondisi Bian yang tidak mengenali dirinya.
"Kalau boleh tau, apa yang menyebabkan anak anda masuk rumah sakit? " Tanya dokter yang menangani Bian saat Varo menanyakan kondisi Bian.
"Anak saya di culik, dan dokter pasti tau apa yang dia alami dengan melihat luka-luka yang dideritanya"
"Kalau begitu, menurut prediksi saya, pasien mengalami trauma pasca penculikan yang di alaminya. Kemungkinan pasien tidak dapat mengenali kita semua dan menganggap siapa pun yang mendekatinya adalah para penculik itu"
KAMU SEDANG MEMBACA
He is Mine (END)
FanfictionWARNING!! cerita GXB Bagi yang ga suka cowok manja, skip ___... ___... ___... ___ "Mana ada cowok yang persis sama imajinasi lo, kalo pun ada pasti maunya sama yang sejenis" "Liat aja nanti" senyum miring tersungging di bibirnya. ___...___ Vianni g...