Suara dering ponsel mengalihkan perhatian Vivy dari ipad ditangannya. Ia sedang menunggu Bian yang sedang berganti seragam sembari melihat-lihat bahan untuk rapatnya pagi ini dengan kantor pusat yang berada di Singapura.
Karena Vivy sangat jarang mengecek langsung ke kantor pusat, ia harus melakukan meeting setiap bulannya untuk memantau kondisi di sana. Meskipun sudah ada kakeknya dan juga asisten kepercayaannya, ia masih memiliki tanggung jawab penuh atas perusahaan.
Vivy melihat nama yang tertera di layar ponselnya 'Kakek'? Kenapa pria berusia lebih dari setengah abad itu meneleponnya? biasanya kakeknya itu tidak akan menelepon jika tidak ada sesuatu yang penting. Vivy sendiri heran, apa kakeknya sudah melupakannya? karena jika bukan ia yang memberi kabar dan menelepon ke sana, pria tua itu sepertinya tak berniat untuk berhubungan lagi dengan cucunya.
Vivy segera mengangkat panggilan itu, takutnya ada yang penting. Namun setelah telepon terhubung, Vivy harus menjauhkan ponsel itu dari telinganya karena teriakan kakeknya yang sangat menggelegar dari sebrang telepon.
"DASAR ANAK NAKAL!! BAGAIMANA BISA KAU MENIKAH TANPA MEMBERITAHUKU, HAH??!! " Suara teriakan kakek Vivy yang bernama Jacob itu sampai membuat Bian yang sedang baru selesai berganti pakaian langsung keluar dari walk in closet.
"Kakek, tenanglah dulu, aku akan menjelaskan semuanya" Vivy menatap Bian dengan tatapan yang mengatakan semuanya baik-baik saja. Bian hanya mengangguk lalu melanjutkan bersiap-siap untuk pergi ke sekolah.
"Jelaskan! " Titah sang kakek tak ingin di bantah.
Akhirnya Vivy menjelaskan secara singkat tentang bagaimana dirinya bisa menikah dengan Bian.
"Jadi kau menikah dengan anak ayah dan bundamu? " Jacob memang tahu bahwa Vivy menganggap Retta dan Varo sebagai orang tuanya, dan ia tidak masalah dengan itu, lagian mereka adalah teman dari anaknya, dan jacob juga telah mengenal mereka dengan baik.
"Bukankah kakek sudah tau kalau aku menikah? bagaimana bisa kakek tidak tau dengan siapa aku menikah? " Tanya Vivy heran.
"Semua ini adalah salahmu, jika saja informan kakek tidak mengetahui hal ini, apa kau akan terus menyembunyikan cucu menantuku, hm? lagipula mana kakek tau dengan siapa kau menikah, bukankah kau sengaja merahasiakannya" Sindir kakeknya itu, Vivy bukannya sengaja ingin menyembunyikan hal ini, tapi ia benar-benar lupa bahwa ia belum memberi tahu kakeknya tenteng pernikahannya dengan Bian.
Menjelaskannya pada pria tua itu juga percuma, kakeknya hanya akan memarahinya lagi jika mengatakan alasan yang sebenarnya, jadi Vivy hanya meminta maaf karena ini memang salahnya.
"Minggu depan kakek akan ke Indonesia, awas saja kau sembunyikan suamimu dari kakek" Ancam jacob.
"Iya kek... tidak akan" Pasrah Vivy lalu menutup sambungan teleponnya, tidak ada gunanya juga melarang kakeknya datang, karena itu percuma, kakek dan mamanya memang mempunyai sifat keras kepala yang menurun pada Vivy.
"Siapa Vy? " Tanya Bian dengan seragam lengkap dan tas sekolah di punggungnya.
"Kakek baru tau tentang pernikahan kita, jadi tadi nelpon nanyain kenapa gak bilang ke dia dari awal"
"Kakek gak marah? " Tanya Bian gugup, bagaimana jika kakek Vivy tidak menyukainya dan menyuruhnya menjauhi Vivy? Bian gak mau!
"Gausah berpikiran yang macem-macem, ayo berangkat" Vivy mengusak rambut Bian lalu mengajaknya ke bawah.
///////
Setelah mengantarkan Bian ke sekolah, Vivy langsung pergi ke kantor Kalandra untuk menghadiri meeting dengan asistennya dari kantor pusat. Ia tidak menghadiri kelas karena pertemuannya dilakukan pukul 08.00 pagi, jadi kurang setengah jam lagi.
Bian memasuki area sekolahnya dengan langkah ringan, ia tidak sadar jika di sepanjang jalan yang ia lewati, siswa-siswi yang berpapasan dengannya selalu menatapnya mencemooh.
Saat sudah sampai di dalam kelasnya, Bian baru menyadari jika orang-orang di sekitarnya menatap aneh padanya.
Apa karena acara kemarin, jadi banyak yang tidak menyukainya?
Bian akan tetap bingung dengan apa yang sedang terjadi jika Doni tidak menghampirinya dan menjelaskan apa yang sedang terjadi.
Doni mengajak Bian ke mading sekolah sambil menceritakan apa yang dikatakan orang-orang tentangnya.
Ada sebuah gosip yang mengatakan bahwa dirinya bisa terpilih kemarin karena ada bantuan orang belakang, yang lebih tidak masuk akal lagi mereka mengatakan jika dia merayu Vivy agar bisa memanfaatkannya.
Bian melihat mading yang dipenuhi dengan foto dirinya dan Vivy saat berada di mall 2 hari yang lalu. Disana juga banyak tulisan-tulisan yang menghina dan merendahkan dirinya.
Kini terdengar bisik-bisik dari orang-orang di sekitarnya yang menjelekkan dirinya, Bian segera berlari dan menjauh dari sana agar tidak lagi mendengar bisikan-bisikan itu.
"Bian lo mau kemana?! " Teriak Doni hendak mengejar Bian, namun kedatangan Rean menghentikannya.
"Gimana? " Tanya Doni.
"Gue udah laporin ke pihak sekolah, mereka gak akan diem aja karena ini juga menyangkut pemilik sekolah ini" Jawab pria yang baru datang itu.
"Bagus deh kalo gitu, lagian gue gak percaya kalo Bian orangnya kayak gitu, siapa sih yang nyebarin berita hoax kayak gini? gabut banget anjir! "
"Mending sekarang kita cari Bian, takutnya dia kenapa-napa" Rean.
"Eh iya, gue kan tadi mau ngejar Bian" Doni menepuk keningnya karena melupakan hal itu.
Doni dan Rean segera mencari Bian, takut terjadi apa-apa dengan temannya itu. Namun mereka tidak menemukan Bian setelah mencari disekeliling sekolah.
"Apa jangan-jangan dia pulang ya? "
"Mungkin dia lagi nenangin diri, kita biarin aja dulu"
"Yaudah mending kita balik ke kelas"
Di sisi lain, setelah berlari menjauhi kerumunan di depan mading, Bian menangis sendirian di halaman belakang sekolah.
Bian yang berniat menenangkan dirinya tak dapat melakukan itu karena kini Diki dan kedua temannya mendatangi dirinya.
Bian melihat kemarahan di mata Diki yang kini tengan mencengkeram kerah bajunya.
"Lo tau dimana kesalahan lo? " Tanya pria bermarga Dirgantara itu. Bian hanya diam tak menjawab pertanyaan pria itu.
"Lo salah karena rebut posisi gue sebagai king nya Kalandra, lo salah karena Rina jatuh cinta sama lo, bahkan kehadiran lo di dunia ini juga salah, bangsat! " Diki memukul wajah Bian di akhir kalimatnya membuat sudut bibir Bian sedikit robek dan mengeluarkan darah.
Bian tidak pernah mendapat kekerasan fisik dalam hidupnya, jadi ia sangat terkejut dengan pukulan itu hingga mengeluarkan air matanya.
"Cih, nangis, dasar anak mama! miskin aja belagu, mentang-mentang jadi mainannya nona Vivy, bangga lo? " Diki menghempaskan tubuh Bian ke tanah.
"Guys, lakuin tugas kalian" Ucap Diki lalu meninggalkan Bian dengan kedua temannya.
Dua orang seumuran Bian itu kini mendekati Bian dengan smirk dibibir mereka. Salah satu dari keduanya menyiramkan minuman dingin yang baru saja ia beli dari kantin, sedangkan yang satunya menendang perut Bian hingga pria itu terbaring di atas rumput taman.
Mereka berdua meninggalkan Bian dalam kondisi seperti itu, Bian sendiri melihat dirinya yang sudah sangat tidak beraturan dengan seragam yang basah dan kotor. Untung saja yang disiramkan padanya tidak berwarna, jadi tidak terlalu terlihat.
Bian menghapus air matanya kasar, perutnya terasa sangat sakit, tapi Bian berusaha bangun agar bisa keluar dari sekolah, disaat seperti ini ia hanya membutuhkan Vivy-nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
He is Mine (END)
FanfictionWARNING!! cerita GXB Bagi yang ga suka cowok manja, skip ___... ___... ___... ___ "Mana ada cowok yang persis sama imajinasi lo, kalo pun ada pasti maunya sama yang sejenis" "Liat aja nanti" senyum miring tersungging di bibirnya. ___...___ Vianni g...