Vivy keluar dari kamar mandi setelah membersihkan diri saat Bian baru saja membuka matanya.
Selama 2 hari terakhir, gadis itu selalu berada di ruangan ini. Semua kebutuhannya akan dibawakan oleh salah satu anak buahnya yang berjaga di luar.
Vivy yang sudah mengganti pakaiannya menghampiri pria yang masih terbaring di ranjang lalu mencium keningnya.
"Harum " Bian bisa merasakan aroma yang menguar dari tubuh Vivy saat gadis itu mencium keningnya.
Vivy terkekeh mendengar gumaman Bian, Ia duduk di samping pria itu dengan senyum manis menghiasi wajahnya.
"Mau makan sekarang? " Tawar Vivy kepada suami kecilnya.
"Bian mau mandi juga... " Pinta Bian dengan puppy eyes nya, berharap Vivy menuruti keinginannya, biasanya gadis itu akan langsung menuruti keinginannya, namun kini istrinya itu menggeleng tanda penolakan, membuat Bian langsung merasa kecewa.
"Kalau udah sembuh ya? Bian kan masih sakit? " Bujuk Vivy.
"Tapi gak nyaman banget Vy... " Rengek Bian, ia memang merasa tidak nyaman karena tubuhnya belum dibersihkan sejak hari dimana ia diculik.
"Ganti baju aja, mau? Ivy udah minta bawain baju Bian ke sini kemarin " Vivy memang meminta asisten rumah tangganya membawakan baju ganti untuknya kemarin, jadi sekalian membawakan baju Bian untuk berjaga-jaga.
"Tapi kan- "
Tok tok tok
Bian belum menyelesaikan kalimatnya saat terdengar ketukan pintu dari luar.
Vivy dapat merasakan bahwa tubuh suaminya menegang. Ia selalu bereaksi seperti itu, jika pintu yang memang sengaja dikunci oleh Vivy, di ketuk dari luar.
Vivy membisikkan beberapa kata penenang lalu berjalan menuju pintu untuk membukanya.
Setelah pintu terbuka, ternyata yang mengetuk pintu adalah dokter yang menangani Bian. Ia mengatakan bahwa hari ini infus sudah bisa di lepas, jadi Vivy membiarkannya masuk ke dalam.
Vivy segera menghampiri Bian karena pria itu terlihat ketakutan saat dokter mendekatinya.
"Ada Ivy, gak akan ada yang nyakitin Bian, hm? " Vivy mencondongkan tubuhnya agar bisa memeluk Bian yang tengah berbaring. Ia menyembunyikan wajah pria itu di ceruk lehernya agar tidak menatap dokter itu.
Sang dokter juga memahami kondisi Bian, jadi ia segera melepas infus yang terpasang di tangan Bian, lalu segera keluar dari sana setelah mengatakan pada Vivy untuk mengikutinya.
Sepeninggal dokter itu, Vivy mengurai pelukannya lalu menegakkan tubuhnya.
"Ivy keluar dulu, gapapa?? " Tanya Vivy pelan, Bian sedikit mengerutkan keningnya tak setuju.
"Bentaaar... aja, trus Ivy balik lagi, cuma ke depan kok " Gadis itu mencoba bernegoisasi.
"Jangan lama-lama ya? Bian pengen mandi... " Vivy kira Bian lupa tentang itu setelah kedatangan dokter, ternyata pria itu masih ngotot ingin mandi.
"Gak akan lama, nanti Ivy tanya dokter dulu Bian boleh mandi apa enggak " Gadis itu mengelus kepala Bian lalu beranjak keluar.
"Apakah ada masalah? " Tanya Vivy to the point begitu sampai di depan dokter.
"Kondisi fisik pasien sudah membaik, dan besok sudah boleh pulang, Anda hanya perlu mengoleskan salep pada luka pasien sehari sekali agar tidak membekas.Namun untuk kondisi mentalnya belum mengalami perkembangan, lebih baik Nona membawanya ke psikiater "
"Apa tidak ada cara lain? Saya tidak ingin suami saya menganggap dirinya gila jika membawanya ke psikiater " Vivy kembali mengingat saat Bian bertanya padanya apakah dirinya gila, dan ia tidak ingin pria itu merasa seperti itu lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
He is Mine (END)
FanfictionWARNING!! cerita GXB Bagi yang ga suka cowok manja, skip ___... ___... ___... ___ "Mana ada cowok yang persis sama imajinasi lo, kalo pun ada pasti maunya sama yang sejenis" "Liat aja nanti" senyum miring tersungging di bibirnya. ___...___ Vianni g...