"Udah siap? Bunda sama Ayah udah nunggu Bian di bawah " Vivy menghampiri Bian yang kini tengah menyisir rambutnya, pria itu baru saja selesai mandi saat Vivy memasuki kamar.
Retta dan Varo memang sudah datang, jadi Vivy menyambut mereka dulu saat Bian masih di kamar mandi. Mereka sengaja datang sebelum sarapan berniat sarapan bersama putra dan menantu mereka.
"Udah " Bian meletakkan sisir yang baru saja ia gunakan lalu menghampiri Vivy yang sudah menunggunya.
Mereka berdua turun ke bawah sambil bergandengan tangan.
Sesuai janji nya kemarin, Vivy akan menggenggam tangan Bian untuk mengurangi rasa takut pria itu.
Begitu sampai di dekat Retta dan Varo, Vivy bisa merasakan tangan yang berada dalam genggamannya sedikit bergetar. Ia membisikkan beberapa kata penenang dan mengelus punggung Bian.
Bian beberapa kali manarik napas lalu menghembuskannya, agar ia bisa sedikit lebih rileks.
"Bian.. " Lirih Retta hendak mendekati Bian, namun ia menahan dirinya agar tidak terlalu dekat, takutnya Bian kembali histeris jika didekati.
Setelah menenangkan dirinya, Bian bisa melihat dengan jelas bahwa yang berada di depannya memang kedua orang tuanya. Ia tidak bisa mengontrol air matanya dan mulai menangis.
Retta yang melihat itu tidak bisa tidak bersedih, ia mengira jika Bian menangis karena takut melihatnya. Namun di detik berikutnya ia di buat terkejut karena Bian tiba-tiba melepaskan genggaman tangan Vivy dan beralih memeluknya.
Mendapati putranya sedang memeluknya, Retta tidak bisa menahan air saking bahagianya.
Wanita itu membalas pelukan Bian yang masih terisak di bahunya.
Varo dan Vivy yang melihat itu tak kalah bahagianya, mereka senang melihat kondisi Bian yang mulai membaik dan bisa mengenali Bundanya.
"Bian " Varo mencoba memanggil Bian karena ia juga merindukan putranya itu, ia berharap Bian juga sudah mengenali dirinya.
Mendapati namanya di panggil, Bian mengurai pelukannya lalu menoleh ke arah Varo yang menatapnya penuh harap.
Bian beralih ke Ayahnya dan memeluk pria itu. Varo tidak dapat menahan senyumnya saat Bian memeluk dirinya.
Lagi-lagi Vivy tersenyum bahagia melihat Bian yang tidak takut lagi saat bertemu orang tuanya.
"Sekarang waktunya sarapan, setelah itu kalian bisa lanjut lagi " Ucap Vivy menginterupsi.
Sekarang sudah hampir lewat waktu sarapan, dan ia tidak ingin Bian melewatkan minum obat karena belum makan.
Retta dan Varo yang menyadari bahwa mereka belum sarapan, menyetujui ucapan Vivy.
Mereka berempat menuju meja makan yang telah di penuhi dengan masakan Bibi.
.
.
.
Setelah sarapan selesai, Bian dan kedua orang tuanya mengobrol santai di ruang keluarga, sedangkan Vivy mengambilkan obat Bian yang berada di kamar.
Retta dan Varo ingin menghabiskan hari ini bersama Bian, karena besok rencananya mereka akan kembali ke Korea.
Di tengah obrolan orang tua dan anak itu, Vivy datang dengan segelas air dan obat di tangannya.
Gadis itu membantu Bian meminum obatnya lalu pergi dari sana, berniat membiarkan Bian menghabiskan waktu dengan orang tuanya.
Retta yang melihat itu tersenyum dalam hati, ia paham maksud Vivy yang memberikan kesempatan pada Bian untuk quality time dengan orang tuanya.
Retta merasa bahwa keputusannya menikahkan Bian dan Vivy adalah keputusan terbaik dalam hidupnya. Ia rasa hanya gadis itu yang bisa menjaga putra semata wayangnya.
Menghabiskan waktu di rumah Vivy, tak terasa jika malam mulai menyapa. Di luar sudah gelap, yang berarti Retta dan Varo harus segera kembali ke mansion dan menyiapkan keperluan keberangkatannya besok pagi.
"Bunda sama Ayah mau pulang? " Tanya Bian sedih, ia masih merindukan orang tua nya.
"Iya sayang, kita harus siap-siap untuk keberangkatan besok, Bian gapapa kan? " Retta mengusap surai hitam Bian.
"Huh, kapan-kapan kesini lagi ya? "
"Pasti, sekarang Bian baik-baik ya disini "
"Vivy, Ayah titip Bian yah? " Ucap Varo ditujukan kepada menantunya.
"Iya Yah, maaf Vivy besok gak bisa nganterin ke bandara "
"Gapapa, yaudah kita pulang dulu " Retta memeluk Bian dan Vivy bergantian, lalu beranjak dari sana bersama suaminya.
///////
Beberapa hari telah berlalu, selama itu pula Vivy dan Bian hanya menghabiskan waktunya di rumah.
Kondisi Bian sudah mulai normal, Ia sudah bisa berinteraksi dengan orang-orang di rumah Vivy, jadi dia tidak harus mengurung diri di kamar lagi.
Meski begitu, Bian belum berani untuk mencoba keluar rumah, mungkin masih perlu waktu untuk memberanikan dirinya melakukan aktivitas di luar.
Hari ini Vivy berencana untuk ke kantor, Ia melihat kondisi Bian juga sudah memungkinkan untuk ia tinggal, jadi sepertinya sudah waktunya ia kembali ke aktivitasnya.
Bian membiarkan Vivy pergi bekerja, meskipun ia belum ingin keluar rumah, ia juga sudah bisa melakukan semuanya sendiri di rumah ini, jadi tidak ada alasan untuk mencegah gadis itu.
.
.
.
Sesampainya di loby kantor, seluruh pegawainya yang masih berada di sana menyambut kedatangan Vivy dengan menunduk hormat.
Gadis dengan setelan jas berwarna merah maroon itu terus melangkahkan kakinya menuju lift khusus untuknya, yang akan membawanya ke lantai paling atas dimana ruangannya berada.
Begitu sampai di kursi kebesarannya, Vivy langsung menghubungi Zen dan menyuruhnya untuk datang.
Beberapa saat menunggu, pintu ruangannya di ketuk dari luar, ternyata Zen yang datang dengan membawa beberapa berkas yang ia minta.
"Apakah ada kabar tentang penyelidikan? " Tanya Vivy setelah memeriksa berkas-berkas penting perusahaan yang tadi di bawa oleh Zen.
Vivy memang melimpahkan tanggung jawab penyelidikan kasus penculikan Bian kepada Zen, jadi pria itu harus mengurus penyelidikan itu dan perusahaan di waktu bersamaan.
Untung saja gaji nya sangat besar, jika tidak ia pasti mengundurkan diri sebagai asisten Vivy.
"Ada sesuatu yang janggal di mansion tuan muda, nona"
"Apa itu? " Vivy yakin ini pasti tentang mata-mata yang membocorkan tentang perjodohannya.
"Menurut mata-mata yang saya kirim, beberapa bulan lalu ada seorang pelayan yang baru saja bekerja di sana, tapi wanita itu mengundurkan diri tanpa alasan tepat setelah kabar penculikan tuan muda " Vuvy mengerutkan keningnya berpikir.
"Bisa saja itu kebetulan "
"Saya juga menduga seperti itu pada awalnya, namun setelah diselidiki lagi, setelah berhenti menjadi pelayan di mansion tuan muda, wanita itu sering terlihat di mall dan membeli barang-barang mewah "
"Apakah ada yang mencurigakan lagi? "
"Maaf sebelumnya, bukannya saya menuduh, tapi saya curiga jika penculikan itu ada hubungannya dengan keluarga William "
"Kenapa kau mencurigai keluarga itu? "
"Karena wanita itu adalah seorang tunawisma yang kemudian diberi pekerjaan sebagai pelayan keluarga William "
Vivy merenungkan apa yang di ucapkan asistennya barusan, jika kecurigaan Zen memang benar, maka hanya satu nama yang terlintas di pikirannya.
Justin William!!
KAMU SEDANG MEMBACA
He is Mine (END)
FanfictionWARNING!! cerita GXB Bagi yang ga suka cowok manja, skip ___... ___... ___... ___ "Mana ada cowok yang persis sama imajinasi lo, kalo pun ada pasti maunya sama yang sejenis" "Liat aja nanti" senyum miring tersungging di bibirnya. ___...___ Vianni g...